BAB I
PANGGILAN HIDUP UMAT ALLAH
|
a. Makna Hidup Manusia menurut Ajaran Kitab Suci
1)
Menelusuri Ajaran
Kitab Suci
§ Setelah memahami makna hidup manusia melalui cerita cerita kehidupan, sekarang cobalah dalam kelompok menelusuri ajaran Kitab Suci Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) yang mengajarkan bahwa
hidup manusia sangatlah berharga.
2) Menyimak teks Kitab Suci
§ Setelah kamu menemukan ayat-ayat Kitab Suci yang dimaksudkan, sekarang
cobalah menyimak teks Kitab Suci berikut ini.
Delapaan Sabda Bahagia Yesus
Mateus 5:1 – 12
“Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke
atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya.2 Maka
Yesus pun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya. 3 "Berbahagialah
orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan
Sorga.4 Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.5
Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.6
Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan
dipuaskan.7 Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh
kemurahan.8 Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat
Allah.9 Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut
anak-anak Allah.10 Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran,
karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.11 Berbahagialah kamu, jika karena
Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.12 Bersukacita
dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah
dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu”.
3)
Pendalaman/Diskusi
§
Setelah
menyimak teks Kitab Suci Mateus 5:1-12, cobalah kamu
merumuskan pertanyaan-pertanyaan untuk berdiskusi tentang hidup manusia yang
bermakna menurut teks ayat-ayat Kitab Suci tersebut.
3. Menghayati Hidup
sebagai anugerah Tuhan yang sangat berharga bagi diriku
Untuk menghayati hidup sebagai anugerah Tuhan
yang sangat berharga bagi setiap insan manusia, maka sekarang buatlah refleksi
pribadi dan rencanakan suatu aksi.
a.
Refleksi
§ Tulislah sebuah refleksi tentang makna hidupmu sebagai sesuatu yang
berharga dari Tuhan. Apa saja yang perlu kamu lakukan sebagai pelajar untuk mengisi hidupmu secara berkualitas.
b.
Aksi
§
Tulislah sebuah rencana aksi untuk menghargai hidupmu sendiri dengan
melakukan kegiatan-kegiatan yang bermutu, seperti rajin belajar, disiplin
terhadap peraturan di sekolah dan di rumah serta di masyarakat.
§ Hasil refleksimu dapat dipajangkan di Mading kelas.
B.
PANGGILAN HIDUP BERKELUARGA
C.
PERKAWINAN DALAM TRADISI KATOLIK
1.
Arti dan Makna Perkawinan
a.
Pandangan
Tradisional: perkawinan merupakan
suatu ikatan, yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang
wanita, tetapi juga mengikat kaum kerabat si laki-laki dengan kaum kerabat si
wanita dalam suatu hubungan tertentu.
b.
Pandangan
Hukum (Yuridis): Perkawinan adalah perjanjian. Dengan perkawinan, seorang pria dan
seorang wanita saling berjanji untuk hidup bersama, di depan masyarakat agama
atau masyarakat negara, yang menerima dan mengakui perkawinan itu sebagai sah
c.
Pandangan
Sosiologi: perkawinan merupakan suatu persekutuan hidup yang mempunyai bentuk,
tujuan, dan hubungan yang khusus antara anggota. Ia merupakan suatu lingkungan hidup yang khas.
Dalam lingkungan hidup ini, suami dan istri dapat mencapai kesempurnaan atau
kepenuhannya sebagai manusia, sebagai bapak dan ibu.
d.
Pandangan
Antropologis:
perkawinan merupakan persekutuan cinta. Pada umumnya, hidup perkawinan dimulai
dengan cinta. Ia ada dan akan berkembang atas dasar cinta. Seluruh kehidupan bersama
sebagai suami istri didasarkan dan diresapi seluruhnya oleh cinta.
e.
Pandangan
agama-agama: (1) Agama Islam: nikah
adalah hidup bersama antara suami istri. Nikah itu diperbolehkan bahkan
dianjurkan oleh rasulullah SAW kepada umat manusia sesuai dengan tabiat alam,
yang mana antara golongan pria dan golongan wanita itu saling membutuhkan untuk
mengadakan ikatan lahir batin sebagai suami istri yang sah dalam terang hukum
agama. (2) Agama Katolik: perkawinan
adalah sakramen, suatu peristiwa di mana Allah bertemu dengan suami istri itu.
2.
Perkawinan sebagai sakramen
Perkawinan Kristiani bersifat sakramental. Bagi
pasangan yang telah dibaptis, ketika mereka saling memberikan konsensus
dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi sah sekaligus sakramen.
Sakramen artinya tanda. Perkawinan
sebagai sakramen artinya perkawinan sebagai tanda;
1. Tanda
Cinta Allah
Dalam sakramen perkawinan, suami
adalah tanda kehadiran Allah untuk mencintai sang istri dan istri menjadi tanda
cinta dan kebaikan Allah bagi sang suami. Mereka dipilih untuk menjadi utusan
atau tangan Tuhan. Melalui suami istri Tuhan hadir menolong, menguatkan dan
membahagiakan pasangannya. Suami istri melakukan dan mengikrarkan janji di hadapan Tuhan dan umat beriman,
itulah yang akan mereka teruskan selama hidup perkawinan mereka saling
menyempurnakan atau saling menguduskan sebagai anak Allah. Pasangan manusia
dicita-citakan oleh Tuhan menurut hakikatnya sendiri: “Baiklah Kita menjadikan
manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya,…
laki-laki dan perempuan…”(Kej 1: 26-28). Hakikat Tuhan ialah cinta yang maha
sempurna, yang menyatukan Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Allah mengehndaki
supaya manusia menjadi seperti hakikat-Nya itu. Satu dalam cinta yang mesra.
Manusia yang menjadi dua ketika Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam, langsung
disatukan kembali secara lebih sempurna dalam cinta. Allah membimbing hawa
kepada Adam dan Adam kegirangan berucap, “Inilah dai tulang dari tulangku dan
daging dari dagingku!” Sejak saat itu, memang lelaki harus meninggalkan
ibu-bapaknya untuk bersatu padu jiwa dan raga istrinya. Mereka bukan lagi dua,
melainkan satu!
2. Tanda
Cinta Kristus kepada GerejaNya
Perkawinan Kristiani menjadi gambaran
dari hubungan cinta yang lebih mulia dari hubungan cinta yang mulia yaitu
persatuan hidup Kristus dengan umatNya. Santo Paulus berkata, “Hai suami,
kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah
menyerahkan diriNya baginya untuk menguduskannya.”
Jadi dapatlah kita menarik
kesimpulan: cinta kasih suami istri didukung oleh kesatuan Gereja, tetapi
kesatuan yang berlangsung dalam perkawinan Kristiani. Oleh karena itu,
kehidupan perkawinan disebut sel hidup umat Allah.
Sakramen perkawinan adalah hidup
pasangan itu, mulai pada hari pernikahan mereka saat maut memisahkan mereka.
Hidup perkawinan adalah suatu ziarah iman dalam cinta, bila dihayati hari demi
hari dengan setia, akan menjadi tanda bahwa Allah mencintai kita tanpa batas.
3.
Sifat-sifat Perkawinan sakramental
Apa saja
sifat-sifat hakiki perkawinan Katolik?
Kanon 1056 mengatakan: “Sifat-sifat
hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terputuskan, yang dalam perkawinan
kristiani memperoleh kekukuhan khusus karena sakramen”.
Jadi sifat-sifat hakiki
perkawinan Katolik, yaitu:
- Unitas, artinya kesatuan antara seorang pria dan seorang
wanita menurut relasi cinta yang eksklusif. Dengan kata lain, tidak ada
hubungan khusus di luar pasutri. Sifat unitas mengecualikan relasi di luar
perkawinan, poligami, PIL, WIL.
- lndissolubilitas, tak terceraikan, artinya ikatan perkawinan
hanya diputuskan oleh kematian salah satu pasangan atau keduanya.
"Apa yang sudah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia"
(bdk. Mat 19:6; Mrk 10:9). Untuk itu, dituntut adanya kesetiaan dalam
untung dan malang, dalam suka dan duka. Dalam hal inilah saling pengertian,
pengampunan sangat dituntut.
- Sakramental, artinya sakramentalitas perkawinan dimulai sejak
terjadinya konsensus/perjanjian antara dua orang dibaptis yang
melangsungkan perkawinan. Perkawinan disebut sakramental, artinya menjadi
tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan. Untuk itu, dari pasangan
suami-istri dituntut adanya cinta yang utuh, total, radikal, tak terbagi
sebagaimana cinta Yesus kepada Gereja-Nya (bdk. Ef 5: 22-33).
Patut diperhatikan bahwa
penafsiran serta penerapannya di dalam Gereja Katolik tak jarang berbeda dengan
di kalangan non-Katolik. Sifat-sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga
perkawian kedua tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah
diceraikan secara sipil atau menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tidak
mengakui validitas atau efektivitas perceraian itu. Dengan demikian suami-istri
yang telah cerai itu di mata Gereja masih terikat perkawinan dan tak dapat
menikah lagi dengan sah. Andaikata itu terjadi, maka di mata Gereja terjadi
poligami suksesif.
Monogami berarti perkawinan
antara seorang pria dan seorang wanita. Jadi, merupakan lawan dari poligami
atau poliandri. Sebenarnya UU Perkawinan RI No. 1 tahun 1974 juga menganut asas
monogami, tetapi asas ini tidak dipegang teguh karena membuka pintu untuk poligami,
tetapi tidak untuk poliandri.
Sebaiknya dibedakan
implikasi/konsekuensi moral dan hukum. Di sini perhatian lebih dipusatkan pada hukum. Dengan berpangkal pada kesamaan
hak pria dan wanita yang setara, sehingga poligami dan poliandri
disamakan:
- Mengesampingkan poligami simultan: dituntut
ikatan perkawinan dengan hanya satu jodoh pada waktu yang sama.
- Mengesampingkan poligami suksesif, artinya,
berturut-turut kawin cerai, sedangkan hanya perkawinan pertama yang
dianggap sah, sehingga perkawinan berikutnya tidak sah. Kesimpulan ini
hanya dapat ditarik berdasarkan posisi dua sifat perkawinan seperti yang
dicanangkan Kan. 1056: monogami eksklusif dan tak terputuskannya ikatan
perkawinan. Implikasi dan konsekuensi ini lain - tetapi hal ini termasuk
moral - ialah larangan hubungan intim dengan orang ketiga.
Bagaimana
memahami makna dari ‘sifat kodrati keterarahan’ dalam perkawinan Katolik?
Sifat kodrati
keterarahan kepada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum). Selain tiga
“bona” (bonum = kebaikan) perkawinan yang diajarkan St.
Agustinus, yakni:
- Bonum prolis: kebaikan anak, bahwa perkawinan ditujukan
kepada kelahiran dan pendidikan anak,
- Bonum fidei: kebaikan kesetiaan, menunjuk kepada sifat
kesetiaan dalam perkawinan, dan
- Bonum sacramenti: kebaikan sakramen, menunjuk pada sifat
permanensi perkawinan; Gaudium et Spes no. 48 menambah lagi satu “bonum”
yang lain, yakni bonum coniugum (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).
Sifat kodrati
keterarahan kepada anak. Perkawinan terbuka terhadap kelahiran anak dan
pendidikannya. KHK 1983 tidak lagi mengedepankan prokreasi sebagai tujuan
pertama perkawinan yang mencerminkan tradisi berabad-abad sejak Agustinus,
melainkan tanpa hirarki tujuan-tujuan menghargai aspek personal perkawinan dan
menyebut lebih dahulu kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum).
Perkawinan
sebagai Sakramen. Perkawinan Katolik bersifat sakramental. Bagi
pasangan yang telah dibaptis, ketika mereka saling memberikan konsensus dalam
perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi sah sekaligus sakramen.
Apa yang
menjadi paham dasar perjanjian perkawinan Katolik?
Paham dasar perkawinan Katolik
adalah “Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membantu antara mereka
kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada
kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak, oleh Kristus
Tuhan, perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke
martabat Sakramen.” (kan 1055 §1).
- Perjanjian Perkawinan
Perkawinan itu dari kodratnya
adalah suatu perjanjian (covenant, foedus). Dalam tradisi Yahudi, perjanjian
berarti suatu agreement (persetujuan)
yang membentuk (menciptakan) suatu hubungan sedemikian rupa sehingga mempunyai
kekuatan mengikat sama seperti hubungan antara orang-orang yang mempunyai
hubungan darah. Konsekuensinya, hubungan itu tidak berhenti atau berakhir,
sekalipun kesepakatan terhadap perjanjian itu ditarik kembali. Berdasarkan
pilihan bebas dari suami-istri, suatu perjanjian sesungguhnya akan meliputi
relasi antar pribadi seutuhnya yang terdiri dari hubungan spiritual, emosional
dan fisik.
- Kebersamaan Seluruh Hidup
Dari kodratnya perkawinan
adalah suatu kebersamaan seluruh hidup (consortium
totius vitae; “consortium” asalnya dari con = bersama, sors = nasib, jadi
kebersamaan senasib; totius vitae = seumur hidup, hidup seutuhnya). Ini terjadi
oleh perjanjian perkawinan. Suami-istri berjanji untuk menyatukan hidup mereka
secara utuh hingga akhir hayat (bdk. janji perkawinan).
- Antara Pria dan Wanita
Pria dan wanita diciptakan
menurut gambaran Allah dan diperuntukkan satu sama lain, saling membutuhkan,
saling melengkapi, saling memperkaya. Menjadi “satu daging” (Kej 2:24).
Apa yang dimaksud dengan ‘kesetiaan
yang sempurna dan tidak mungkin dibatalkan lagi oleh siapapun, kecuali oleh
kematian’?
Setia dalam hal apa?
Empat hal yang sudah diuraikan di atas, yakni persekutuan hidup antara seorang
pria dan seorang wanita, memelihara dan memperkembangkan persetujuan pribadi,
membangun saling mencintai sebagai suami-istri, membangun hidup berkeluarga
yang sehat. Tidak melaksanakan salah satunya berarti sudah tidak setia. Apalagi
kalau kemudian mengalihkan perhatiannya kepada sesuatu yang lain: membangun
persekutuan yang lain, membuat persetujuan pribadi yang lain, membangun
hubungan saling mencintai sebagai suami-istri dengan orang lain, membangun
suasana kekeluargaan dengan orang lain (juga saudara): ini dosanya besar
sekali.
Satu pedoman untuk kesetiaan yang
sempurna adalah Kristus sendiri. Ia setia kepada tugas perutusanNya, Ia setia
kepada BapaNya, Ia setia kepada manusia, kendati manusia tidak setia
kepada-Nya.
Persekutuan perkawinan terjadi oleh
dua pihak, yakni oleh suami dan istri. Maka, tidak ada instansi atau siapapun
yang akan dapat memutuskan persetujuan pribadi itu. Bahkan suami-istri itu
sendiripun tidak dapat memutuskannya, sebab persekutuan itu dibangun atas dasar
kehendak Tuhan sendiri. Dan Tuhanlah yang merestuinya. Maka, pemutusan
persekutuan perkawinan bisa dipandang sebagai pemotongan kehidupan pribadi
suami/istri. Ini bisa berarti pembunuhan, karena pribadi itu dihancurkan.
Pengecualian ini didengar tidak
enak. Namun, nyatanya, misteri kematian tidak terhindarkan. Karena kematian
yang wajar, persetujuan pribadi itu menjadi batal, karena pribadi yang satu
sudah tidak mampu lagi secara manusiawi melaksanakan persetujuannya.
TUJUAN
PERKAWINAN
1. UU Perkawinan RI:
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia, tetap dan sejahtera.
2. Dalam tradisi Gereja, KHK,
kanon 1055: Tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi panggilan Tuhan,
memperoleh kesejahteraan suami istri, dan kelahiran serta kesejahteraan anak
Jadi dapat disimpulkan
bahwa tujuan hidup bersama sebagai suami istri pada umumnya adalah 1membantu
satu sama lain, dengan saling memberikan dan mendapatkan pengertian dengan
mengalami perkembangan berkat yang lain. 2. membantu satu sama lain
dan membiarkan diri dibantu oleh pasangan dalam perjalanan hidup menuju
kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat.
Di dunia: dengan mengalami diri sebagai orang
yang bermanfaat bagi yang lain, dengan memberikan dan mendapatkan pengertian,
denganmengalami perkembangan berkat yang lain
Di akhirat: dengan bersatu denga Yang Mahabaik
karena menjadi teman hidup yang setia.
4.
Tantangan dan kesulitan dalam
perkawinan
Di sini
dibicarakan tantangan-tantangan yang disebabkan oleh factor-faktor dalam
perkawinan itu sendiri.
1. Kebosanan dan Kejenuhan
Pada masa pacaran,
pertunangan, dan pemulaan perkawinan orang biasanya berada pada tahap cinta
emosional dan romantic. Cinta tanpa banyak pertimbangan rasional. Pada masa-masa
itu, hidup ini terasa sangat indah dan menyenangkan. Si dia di mata kita
sungguh tanpa cacat cela. Cinta kita kepadanya merupakan cinta ultroistis,
cinta yang rela berkorban sampai melupakan diri demi kebahagiaan.
Akan tetapi,
sesudah beberapa waktu, kita mulkai merasa bahwa si dia bukanlah seseorang yang
tanpa cacat cela. Dari hari ke hari semakin banyak cacat dan kekurangan yang
kita lihat. Mungkinh cacat yang kecil, tetapi kalau terus ditimbun dari waktu
ke waktu, kita akan merasa kecewa, bosan, dan jenuh. Kita bisa jatuh kepada
cinta diri.
Dan, kalau kita
mulai mementingkan diri sendiri, timbullah rupa-rupa bencana. Di mana ada
cinta diri, di sana tidak ada tempat lagi bagi sikap bertengang rasa, sikap
saling mengerti dan memaafkan. Yang ada hanyalah nafsu kesenangan sendiri,
nafsu menang sendiri, nafsu tahu sendiri, dan sebagainya.
Dalam situasi ini
seperti ini cinta romantic harus diganti dengan cinta yang rasional. Cinta
dengan dimensi tanggung jawab yang lebih kuat. Tanggung jawab kepada teman hidup
dan anak-anak.
2. Perbedaan
Pendapat dan Pandangan
Perbedaan pendapat
dan pandangan sebenarnya soal biasa, aal saja orang mau saling menghormati
pendapat dan keyakinan teman hidup. Dalam hal-hal yang agak prinsipii (misalnya
menyangkut pendidikan anak dalam keluarga), dapat dicari jalan keluar
bersama-sama, dengan kepala dingin. Persoalan akan muncul kalau salah seorang
dari suami istri itu mulai memaksakan kehendaknya serta mengambil keputusan dan
tindakan secara sepihak. Pihak lain tentu merasa disepelekan dan dianggap sepi.
Dengan demikian percekcokkan tidak dapat dielakkan. Setiap saat pertengkaran
dan bentrokan selalu bisa terjadi. Perbedaan pandangan ini sering terjadi dalam
bidang pendidikan anak, pengaturan kesejahteraan keluarga, KB, dan sebagainya.
3· Ketakserasian dalam Hubungan Seksual
Hubungan seksual
merupakan soal yang sangat peka pula. Kalau tidak bertenggang rasa, bisa
menimbulkan kerenggangan antara suami dan istri. Kalau suami terlalu menuntut,
baik mengenai waktu dan cara maupun tempat untuk berhubungan seksual, istri
akan merasa bahwa dirinya hanyalah alat pemuas nafsu suami saja. Dengan itu, ia
akan merasa sangat tersinggung dan menderita. Sebaliknya, kalau istri menolak
melayani suaminya atau melayaninya dengan setengah hati, suami akan merasa
sangat tersinggung. Banyak suami yang jatuh ke pelukan wanita lain atau pelacur
karena dendam kepada istrinya atau untuk mendapat pelayanan seksual yang lebih
memuaskan daripada istrinya.
4· Perzinahan/Perselingkuhan
Sering kali, oleh
suatu keadaan tertentu, suami dan istri tidak bisa melakukan hubungan seksual
untuk jangka waktu tertentu. Mungkin karena urusan tugas, urusan kesehatan,
masa hamil tua, minggu-minggu pertama sesudah persalinan, atau
halangan-halangan lainnya. Kurangnya perhatian dan pengertian yang diberikan
kepada pasangan juga dapat meretakkan keluarga. Dalam situasi semacam ini,
salah seorang pasangan dapat merasa tergoda untuk menyeleweng dari kewajiban
suci perkawinannya: dia akan mencari kepuasan hubungan seks dengan seorang
wanita atau laki-laki yang lain.
Tentu saja,
perzinahan adalah pelanggaran berat melawan kesucian dan kesetiaan perkawinan
yang mendatangkan penderitaan besar untuk semua anggota keluarga, termasuk
pihak yang tidak setia.
Gereja Katolik
cukup tegas dalam menilai dosa perzinahan itu, namun Gereja tak pernah
mengizinkan perceraian. Jalan satu-satunya yang wajar untuk pasutri itu ialah
bertobat, saling mengampuni dan memabarui cinta yang ikhlas demi kebahagiaan
seluruh keluarga.
5· Kemandulan
Kalau salah satu
pasangan ternyata mandul, sering kali timbul krisis dalam perkawinan. Biasanya,
satu pihak mempersalahkan pihak lain walaupun kemandulan bukanlah kesalahan
pribadi. Apa yang penting dalam situasi itu ialah janganlah berhenti saling
mencintai, tetapi pakailajh akal budi dan cobalah memeriksakan diri dulu ke
dokter. Bisa terjadi bahwa kemandulan tidak bersifat tetap, tetapi dapat
diatasi secara fisiologis dan psikologis.
Akan tetapi, kalau
ternyata salah seorang dari pasangan suami istri ini mandul tetap, mereka harus
menerima kenyataan pahit ini. Mereka tidak boleh percaya kepada pendapat kolot
bahwa perkawinannya tidak direstui oleh nenek moyang, dan dengan demikian boleh
merencanakan perceraian sebagai jalan keluar. Perkawinan Kristen tetap mempunyai
arti yang dalam, meski tanpa kemungkinan untuk mendapat anak sendiri.
2. Tantangan yang Bersifat dari Luar
Yang dimaksudkan
dengan tantangan yang bersifat dari luar ialah tantangan-tantangan yang
disebabkan oleh faktor-faktor di luar perkawinan itu sendiri. Kita akan
menyebutkan dua contoh saja.
1. Pengaruh-pengaruhg
atau suasana negatif yang bisa mengganggu dan mengaburkan martabat lembaga
perkawinan. Pengaruh-pengaruh atau suasana negatif tersebut antara lain sebagai
berikut.
Kawin cerai yang semakin banyak terjadi di
dalam masyarakay kita sekarang ini. Dikatakan lebih dari 50% perkawinan di
Indonesia berakhir dengan perceraian.
Suasana dan kebiasaan berpoligami, atau
dengan gaya yang lebih modern: memiliki wanita simpanan. Belum lagi penyelewengan-penyelewengan
(sampai dengan kebiasaan tukar kunci) yang semakin biasa di zaman ini.
Akhir-akhir ini banyak Koran mengungkapkan bahwa ternyata sebagian besar bapak
(suami) di kota-kota besar di Indonesia pernah menyeleweng. Ibu-ibu pun
ternyata mulai berperilaku yang sama.
Cinta bebas dan
pelacuran dalam berbagai bentuk semakin meluas. Koran-koran menuliskan
bagaimana suasana mesum ini sudah melibatkan para pelajar, mahasiswi, ibu-ibu
rumah tangga, dokter, bahkan anak-anak dibawah umur. Suasana ini mungkin akan
semakin mewabah.
Media massa dan sarana-sarana lain yang
bersifat pornografis telah menyusup secara meluas ke dalam masyarakat kita.
Semua hal yang
disebutkan di atas tentu saja bisa merupakan godaan besar bagi pasangan suami
istri untuk mengkhianati kesetiaan perkawinan mereka.
2. Masalah-masalah lain yang tak terlalu
langsung berhubungan dengan perkawinan, tetapi bisa mempunyai akibat yang cukup
besar untuknya. Sekedar contoh, kita bisa menyebutkan satu diantaranya, yaitu
keadaan ekonomi rumah tangga yang morat-marit. Suatu rumah tangga yang selalu
terbentur pada kesulitan ekonomi, bisa mengalami kegagalan dalam kehidupan
perkawinan. Kesulitan ekonomi rumah tangga bisa membuat seseorang berprasangka
buruk tentang teman hidupnya. Dalam keadaan semacam itu bapak atau ibu bisa
mulai berspekulasi, mencari peruntungan dalam bentuk judi, korupsi, mencuri,
dan sebagainya.
Menghadapi
kesulitan-kesulitan itu, kiranya agak sulit untuk memberikan suatu resep yang
siap pakai. Akan tetapi, ada saran yang bersifat sangat umum tetapi penting,
yaitu dalam setiap kesulitan yang timbul, suami istri harus jujur dan saling
terbuka satu sama lain. Banyak kesulitan dan ketegangan dalam rumah tangga bisa
semakin menumpuk dan berlarut-larut karena baik suami maupun istri tidak berani
berbicara secara terus terang tentang kesulitan-kesulitan yang dialami.
Padahal, sekali mereka berani membukia hati, segala kesulitan itu bisa
tersingkir, atau setidak-tidaknya menjadi lebih ringan.
Tantangan
Perakawinan Zaman NOW
Pernikahan adalah wadah yang mempersatukan
wanita dan pria, dimana mereka saling berbagi senang maupun duka sampai tua.
Namun, setelah memasuki pernikahan, terkadang dengan mudahnya mereka bercerai
karena merasa tidak cocok satu sama lain. Tapi bukan berarti pernikahan itu
sepenuhnya horor. Kalau tahu tantangn terberat pernikahan masa kini,
mudah-mudahan tidak kaget dan karenanya terus bersama selama sisa hidup:
Tantangan Pertama: Wanita yang Mandiri
Bukan berarti wanita yang mandiri dan bisa
menghasilkan uang sendiri tidak diperbolehkan. Banyak dari mereka yang
berpendidikan tinggi dan punya karir bagus, bahkan terkadang lebih bagus
daripada si suami. Keadaan ini sering bikin konflik dalam rumah tangga.
Solusi: Sebelum menikah, ada baiknya
dibahas berdua konsep keluarga yang seperti apa yang ingin dibina. Mulai dari
cara mendidik anak, pembagian kerja di rumah, maupun cara menghadapi konflik.
Di dalam rumah tangga perlu kerjasama. Harus ada porsi give and take yang
seimbang.
Tantangan Kedua: Nilai Sakral Pernikahan
yang Memudar
Menurut konsultan pernikahan, Adriana S.
Ginanjar, nilai sakral pernikahan sekarang ini telah memudar. Banyak pasangan
muda yang mengambil keputusan bercerai padahal baru menikah 1-3 tahun. Tidak
ada tekanan dari keluarga besar, tidak ada kekuatiran tentang anak yang masih
kecil, maupun status single mom yang juga tidak lagi menakutkan.
Solusi: Coba untuk lebih bersabar.
Menyatukan dua orang yang berbeda tidak cukup dengan waktu 1-3 tahun karena
memang sulit dua kepribadian, dua pemikiran, dua individu yang berlatar
belakang berbeda menjadi satu keputusan dalam rumah tangga.
Tantangan Ketiga: Kebutuhan yang Meningkat
Kebutuhan terus meningkat, terutama dalam
hal keuangan. Biaya pendidikan, harga makanan, angsuran rumah maupun mobil,
begitupun kebutuhan akan hiburan pun tidak bisa dipisahkan. Kalau tidak
dikonsep dengan baik, bisa jadi salah satu pemicu masalah perceraian.
Solusi: Suami dan istri harus sepakat
bagaimana mereka mengatur keuangan mereka. Buat perencanaan dengan jujur. Kalau
uang belanja dirasa kurang ya bilang. Jangan sampai ada pos pengeluaran yang
ditutup-tutupi, itu yang bahaya. Kalau memutuskan untuk hidup sebagai keluarga
yang sederhana, lakukanlah karena keputusan bersama.
Tantangan Keempat: Godaan Sosial
Masa kini, banyak godaan yang bisa membuat
seseorang berselingkuh, apalagi kalau bertemu seseorang yang dirasa lebih
pengertian dibandingkan pasangan. Perselingkuhan juga jadi lebih gampang sejak
adanya sosial media. Banyak orang yang berselingkuh walau sebatas chatting di
BBM ataupun bertukar status twitter. Bahaya sekali bukan?
Solusi: Kepercayaan adalah komponen yang
terpenting di dalam hubungan suami istri. Menjaga kepercayaan itulah yang harus
kita lakukan. Sekali kepercayaan dirusak, susah mengembalikannya. Penting buat
menghabiskan waktu luang bersama pasangan maupun keluarga. Kalau sehari-hari
sudah sibuk, siapkanlah hari libur buat ngobrol, nonton bareng, ataupun
kegiatan lainnya yang membuat keharmonisan makin terasa. Bangunlah keluarga
dalam dasar agama yang kuat dan baik.
Empat tantangan terbesar ini memang tidak
mudah, ditambah lagi masih ada tantangan lainnya. Namun, jika sebuah keluarga
dibangun dengan dasar takut akan Tuhan, saling pengertian, dan saling terbuka
serta berkomunikasi dengan baik, pernikahan yang sulit pada awalnya pun dapat
jadi harmonis.
Tantangan dan Keprihatinan
Lain zaman NOW dalam Perkawinan Katolik
1.
Rapuhnya
nilai kesetiaan dari perkawinan katolik.
Di abad yang serba praktis ini dengan arus
hidup yang hedonisme, konsumeris, materialis ada sebagian kelurga kristiani
yang mengalami persoalan di dalam menghayati nilai- nilai dasar perkawinan
katolik. Ini berkaitan dengan penghayatan terhadap nilai monogamy perkawinan
dan kesetiaan yang utuh terhadap pasangan hidup. Misalnya adanya PIL, WIL, TTM, Praktek poligami bahkan sampai pada
keputusan untuk berpisah ketika suasana kelurga tidak harmonis,
2. Kemerosotan penanaman dan penghayatan
religiusitas dalam keluarga
Arus hedonis, konsumerisme, dan materialis
membawah dampak yang luar biasa bagi penanaman dan penghayatan nilai-nilai
religiusitas di dalam keluarga. Ada banyak kasus yang di jumpai di lapangan
bahwa munculnya perkembangan teknologi informatika membawah pengaruh negatif
bagi penanaman dan penghayatan nilai- nilai religiusitas dalam keluarga. Irama
hidup keluarga hanya disibukan dengan kegiatan yang jauh dari dari hal-hal
rohani. Misalnya menonton TV dan VCD, bermain HP, Sibuk dengan playstation.
Sehingga aktivitas rohani berupa doa pribadi, doa bersama, dan shering masalah
iman dalam keluarga sering terabaikan.
3.Tantangan dari lingkungan keluarga
Tantangan-tantangan yang ada dihadapan
keluarga tidak hanya berasal dari masyarakat luas melainkan juga dari
lingkungan keluarga sendiri, baik dari keluarga besar maupun keluarga inti.
Yang di maksud keluarga besar adalah suami-istri dan sanak saudara dari suami
maupun dari istri di mana pun mereka berada. Sedangkan keluarga inti adalah
suami-istri dan anak-anak. Contoh tantangan dari dalam keluarga inti;
a. kurangnya
transparansi antara suami dan istri,
b. kurangnya
kerukunan antara suami dan istri
c. kurangnya komunikasi antara suami dan istri
d. kurangnya kesetiaan suami dan
istri
e. adanya kecemburuan dari
suami atau istri
f. adanya dominasi suami
atau istri atas pasanganya.
g. adanya tindakan kekerasan
dalam rumah tangga.
4. Beban ekonomi biaya tinggi yang harus di hadapi oleh keluarga-
keluarga moderen dewasa ini.
Globalisasi yang kuat ditandai dengan sistim persaingan kekuatan- kekuatan ekonomi antar Negara dengan sistim pasar bebasnya yang membawah dampak dalam kehidupan social, ekonomi keluarga dewasa ini. Hal ini harus membuat keluarga hidup dengan biaya ekonomi tinggi. Ekonimi biaya tinggi ini terjadi di segala sector: baik kebutuhan pokok, pelayanan jasa transportasi, pendidikan maupun berbagai pelayanan public. Ekonomi dengan biaya tinggi sering menimbulkan tekanan baik psikis maupun fisik yang bisa menjadi sumber kekerasan dalam rumah tangga. Dalam menghadapi tantangan dan keperihatinan actual saat ini, gereja mempunyai beberapa harapan-harapan terhadap keluarga- keluarga kristiani: antara lain:
Globalisasi yang kuat ditandai dengan sistim persaingan kekuatan- kekuatan ekonomi antar Negara dengan sistim pasar bebasnya yang membawah dampak dalam kehidupan social, ekonomi keluarga dewasa ini. Hal ini harus membuat keluarga hidup dengan biaya ekonomi tinggi. Ekonimi biaya tinggi ini terjadi di segala sector: baik kebutuhan pokok, pelayanan jasa transportasi, pendidikan maupun berbagai pelayanan public. Ekonomi dengan biaya tinggi sering menimbulkan tekanan baik psikis maupun fisik yang bisa menjadi sumber kekerasan dalam rumah tangga. Dalam menghadapi tantangan dan keperihatinan actual saat ini, gereja mempunyai beberapa harapan-harapan terhadap keluarga- keluarga kristiani: antara lain:
1. Keluarga yang mau di bangun harus
dipersiapkan dengan baik.
Maksudnya bahwa: ada persiapan menjelang
perkawinan yaitu persiapan:
a. Persiapan
Jauh. Persiapan sejak masa kanak-kanak terutama dengan pendidikan nilai,
baik nilai manusiawi maupun nilai-nilai kristiani pada khususnya.
b. Persiapan
dekat. Hidup keluarga hendaknya disiapkan secara intensif sejak masa
pacaran. Pemuda dan pemudi yang dalam tahap pacaran harus di dampingi secara
bijaksana agar mereka dapat berpacaran dengan sehat. Hendaknya dalam masa
pacaran mereka diharapakan lebih mengenal dengan baik keperibadian dari dari
pasanganya masing-masing.
c. Persiapan
akhir. Beberapa bulan menjelang pernikahan calon pengantin disiapkan secara
lebih intensif lewat kursus persiapan perkawinan, penyelidikan kanonik dan
pengumuman nikah.
2. Keluarga didasarkan pada perkawinan
yang sah
Hal ini antara lain berarti: bahwa ke dua
mempelai harus mengawali hidup berkeluarga mereka dengan upacara peneguhan
perkawinan sesuai dengan hukum gereja, seperti termuat dalam kitab hukum
kanonik dari kanon 1108- 1123.
3. Keluarga menjadi komunitas hidup dan
kasih
Gereja berharap bahwa keluarga menjadi
komunitas kehidupan dan kasih yang ditandai oleh sikap hormat dan syukur
terhadap anuhgerah kehidupan serta kasih dari semua anggotanya. Harapan gereja
ini antara lain terungkap dalam konstitusi pastoral konsili vatikan ke II yakni
“gaudium et spes 48” dan seruan apostolic paus
Yohanes Paulus ke II yang berjudul”
familiaris consortio 17-41”.
5.
Persiapan Perkawinan
Pernikahan/perkawinan
a. Mendalami Perkawinan dan Hidup
keluarga sebagai Karier Pokok
b. Memperhatikan Hukum Sipil dan Hukum
Gereja Tentang Perkawinan
Perkawinan menjadi sah
kalau calon suami istri itu memberikan persetujuan mereka untuk hidup bersama
sebagai suami istri di hadapan seorang imam dan dua orang saksi. Selanjutnya
dari pasangan itu dituntut banyak syarat supaya perkawinan mereka sungguh sah,
misalnya:
· Persetujuan itu diberikan secara
bebas dan ikhlas
· Pria paling kurang berumur 16 tahun
dan wanita 14 tahun
· Tidak menderita impotensi
· Salah satu dari pasangan itu atau
kedua-duanya tidak terikat oleh perkawinan dengan orang lain atau tahbisan dan
kaul yang publik dan kekal
· Keduanya tidak mempunyai hubungan
darah dalam garis lurus
· Tidak terlibat pembunuhan suami atau
istri lama untuk perkawinan yang baru
c. Memilih Pasangan yang benar dan baik.
Apa saja yang harus diperhatikan
dalam memilih pasangan sejati?
· Kita hendaknya memilih pasangan hidup
yang sungguh mencintai kita dan yang kita cintai, dengan cinta yang sungguh
pribadi
· Sifat dan karakter dari pasangan
kiranya perlu diperhatikan.
· Kesehatan jasmani dan jiwani terjamin
· Usia yang agak sepadan
· Pendidikan yang tidak terlalu berbeda
jauh
· Sebisa mungkin berkeyakinan dan iman
yang sama
d.
Hal- hal lain
· Alangkah baiknya kalau salah satu
dari pasangan atau kedua-duanya sudah memiliki pekerjaan, yang akan menjadi
jaminan untuk memperoleh rejeki. Tidaklah pada tempatnya berani menikah, pada
hal keduanya masih menganggur.
· Sangat baik kalau pasangan yang akan
menikah sudah memiliki rumah, walalupun rumah kontrakan.
· Memiliki tabungan atau dana merupakan
hal yang wajar. Sulit dibayangkan menikah tanpa tabungan.
Evaluasi:
1.
Jelaskanlah
arti perkawinan menurut pandangan hukum, sosiologis, antropologis, tradisional!
2.
Bagaimana
sifat perkawinan dalam Gereja Katolik?
3.
Jelaskanlah
tantangan dari dalam dan dari luar dalam hidup perkawinan!
D.
TANTANGAN
DAN PELUANG UNTUK MEMBANGUN KELUARGA YANG DICITA-CITAKAN
1. Ajaran Kitab Suci
a. Menelusuri Ajaran Kitab Suci
Mateus 19;1-6
“1Setelah Yesus selesai dengan pengajaran-Nya
itu, berangkatlah Ia dari Galilea dan tiba di daerah Yudea yang di seberang
sungai Yordan. 2 Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan Ia pun
menyembuhkan mereka di sana. 3 Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk
mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan
isterinya dengan alasan apa saja?" 4 Jawab Yesus: "Tidakkah kamu
baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka
laki-laki dan perempuan? 5 Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan
meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya
itu menjadi satu daging. 6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.
Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
b. Pendalaman
§ Setelah menyimak kisah
tersebut, guru mengajak para peserta didik untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan teks Kitab Suci yang telah mereka baca. Pertanyaan-pertanyaan itu
misalnya:
1)
Apa pesan dari teks Mat 19:1-6
2)
Apa yang dicobai orang Farisi pada Yesus?
3)
Apa jawaban Yesus?
4)
Mengapa mereka mau mencoba Yesus?
5)
Apa sifat keluarga menurut teks tersebut?
c. Penjelasan
§ Setelah para
peserta didik mengajukan pertanyaan-pertanyaan, kemudian dilanjutkan dengan
diskusi kelas atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, guru
memberikan masukan, misalnya
sebagai berikut:
-
Perkawinan itu persekutuan
cinta antara pria dan wanita yang secara sadar dan bebas menyerahkan diri
beserta segala kemampuannya untuk selamanya. Dalam penyerahan itu suami isteri
berusaha makin saling menyempurnakan dan bantu membantu. Hanya dalam suasana
hormat-menghormati dan saling menerima inilah, dalam keadaan manapun juga,
persekutuan cinta itu dapat berkembang hingga tercapai kesatuan hati yang
dicita-citakan.
- Tuhan
menghendaki agar kesatuan antara suami dan istri tidak terceraikan, karena perkawinan
merupakan tanda kesetiaan Allah kepada manusia dan kesetiaan Kristus kepada
Gereja-Nya. Atau dengan kata lain: menjadi tanda kesetiaan cinta Allah kepada
setiap orang.Menjadi saksi akan
kesetiaan perkawinan yang tak terceraikan ini adalah salah satu tugas pasangan
Kristiani yang paling genting saat ini, di saat dunia dikaburkan oleh
banyak pandangan yang menurunkan derajat perkawinan, seolah hanya pelampiasan
keinginan jasmani semata. Jika pasangan suami istri dan anak- anak hidup dalam
kasih yang total, maka keluarga menjadi gambaran nyata sebuah Gereja, sehingga
tepatlah jika keluarga itu disebut sebagai Gereja kecil atau ecclesia
domestica. Sebab dengan menerapkan kasih seperti teladan Kristus, keluarga
turut mengambil bagian di dalam hidup dan misi Gereja dalam membangun Kerajaan
Allah.
2.
Ajaran Gereja
a. Menelusuri ajaran Gereja
§
Guru
mengajak para peserta didik untuk menelusuri ajaran – ajaran Gereja Katolik
tentang perkawinan. Rujukan misalnya; Ajaran Konsili Vatikan II,
Ensiklik-ensiklik para Paus tentang keluarga.
§
Guru mengajak para peserta didik untuk menyimak
ajaran Gereja dalam Konsili Vatikan II berikut ini.
Pengembangan
perkawinan dan keluarga merupakan tugas semua orang
“Keluarga
merupakan suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu
mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi hati penuh
kebaikan, kesepakatan suami-isteri, dan kerja sama orang tua yang tekun dalam
pendidikan anak-anak. Kehadiran aktif ayah sangat membantu pembinaan mereka
tetapi juga pengurusan rumah tangga oleh
ibu, yang terutama dibutuhkan oleh anak-anak yang masih muda, perlu dijamin,
tanpa maksud supaya pengembangan peranan sosial wanita yang sewajarnya
dikesampingkan.
Melalui
pendidikan hendaknya anak-anak dibina sedemikian rupa, sehingga nanti bila
sudah dewasa mereka mampu penuh tanggung jawab mengikuti panggilan mereka, juga
panggilan religius, serta memilih status hidup mereka. Maksudnya juga, supaya
bila kemudian mereka mengikat diri dalam pernikahan, mereka mampu membangun
keluarga sendiri dalam kondisi-kondisi moril, sosial dan ekonomis yang
menguntungkan. Merupakan kewajiban orang tua atau para pengasuh, membimbing
mereka yang lebih muda dalam membentuk keluarga dengan nasehat bijaksana, yang
dapat mereka terima dengan senang hati; tetapi hendaknya para pendidik itu
menjaga, jangan samapai mendorong mereka melalui paksaan langsung atau tidak
langsung, untuk mengikat pernikahan atau memilih orang tertentu menjadi jodoh
mereka.
Demikianlah
keluarga, lingkup berbagai generasi bertemu dan saling membantu untuk meraih
kebijaksanaan yang lebih penuh, dan untuk memperpadukan hak-hak pribadi-pribadi
dengan tuntutan-tuntutan hidup sosial lainnya, merupakan dasar bagi masyarakat.
Maka dari itu siapa saja, yang mampu mempengaruhipersekutuanpersekutuan dan
kelompok-kelompok sosial, wajib memberi sumbangan yang efektif untuk mengembangkan perkawinan dan hidup
berkeluarga.
Hendaknya
pemerintah memandang sebagai kewajibannya yang suci: mengakui, membela dan
menumbuhkan jati diri perkawinan dan
keluarga, melindungi tata susila umum dan mendukung kesejahteraan rumah tangga,
Hak orang tua untuk melahirkan keturunan dan
medidikanya dalam pangkuan keluarga harus dilindungi. Hendaknya
melalui perundang-undangan yang
bijaksana serta pelbagai usaha lainnya juga mereka yang malang, karena tidak
mengalami kehidupan keluarga, dilindungi dan diringankan beban mereka dengan
bantuan yang mereka perlukan.
Hendaknya
umat beriman kristiani, sambil menggunakan waktu yang ada dan membeda-bedakan
yang kekal dari bentuk-bentuk yang dapat berubah, dengan tekun mengembangkan
nilai-nilai perkawinan dan keluarga, baik melalui kesaksian hidup mereka
sendiri maupun melalui kerja sama dengan sesama yang berkehendak baik. Dengan
demikian mereka mencegah kesukaran-kesukaran, dan mencukupi
kebutuhankebutuhan keluarga serta
menyediakan keuntungan-keuntungan baginya sesuai dengan tuntutan zaman sekarang. Untuk mencapai
tujuan itu semangat kristiani umat beriman, suara hati moril manusia, begitu
pula kebijaksanaan serta kemahiran mereka yang menekuni ilmu-ilmu suci, akan
banyak membantu.
Para
pakar ilmu-pengetahuan, terutama dibidang biologi, kedokteran, sosial dan
psikologi, dapat berjasa banyak bagi kesejahteraan perkawinan dan keluarga
serta bagi ketenangan suara hati, bila – dengan memadukan hasil studi mereka –
mereka berusaha menjelaskan secara makin mendalam pelbagai kondisi yang
mendukung pengaturan kelahiran manusia yang dapat di pertanggung jawabkan.
Termasuk
tugas para imam, untuk – berbekalkan pengetahuan yang memadai tentang hidup
berkeluarga – mendukung panggilan suami-isteri dengan pelbagai upaya pastoral,
pewartaan sabda Allah, ibadat liturgis maupun bantuan-bantuan rohani lainnya
dalam hidup perkawinan dan keluarga mereka. Tugas para imam pula, untuk dengan
kebaikan hatidan dengan sabar meneguhkan mereka ditengah kesukaran-kesukaran,
serta menguatkan mereka dalam cinta kasih, supaya terbentuklah
keluarga-keluargayang sungguh-sungguh berpengaruh baik.
Pelbagai
karya, terutama himpunan-himpunan keluarga, hendaknya berusaha meneguhkan kaum
muda dan para suami-isteri sendiri, terutama yang baru menikah, dengan ajaran
maupun kegiatan, hidup kemasyarakatan dan kerasulan.
Akhirnya
hendaknya para suami-isteri sendiri, yang diciptakan menurut gambar Allah yang
hidup dan ditempatkan dalam tata-hubungan antar pribadi yang otentik, bersatu
dalam cinta kasih yang sama, bersatu pula dalam usaha saling menguduskan supaya
mereka, dengan mengikuti Kristus sumber
kehidupan, di saat-saat gembira maupun pengorbanan dalam panggilan mereka,
karena cinta kasih mereka yang setia menjadi saksi-saksi misteri cinta kasih,
yang oleh Tuhan diwahyukan kepada dunia
dalam wafat dan kebangkitan-Nya”. (GS.52)
b. Pendalaman
Setelah menyimak teks GS.52 , guru mengajak para peserta didik
untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan teks yang telah mereka
baca. Pertanyaan-pertanyaan itu misalnya:
1)
Apa makna keluarga?
2)
Apa manfaat komunikasi dalam
keluarga?
3)
Apa peran bapak dan ibu dalam keluarga?
4)
Apa upaya Gereja dalam membina
keluarga?
c. Penjelasan
§ Setelah menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam diskusi kelompok, guru memberikan
penjelasan untuk memberikan wawasan atau pemahaman peserta didik tentang keluarga.
2).
Arti dan makna Keluarga
§ Keluarga dalam arti sempit:
melibatkan suami, istri dan anak-anak mereka, disebut keluarga inti. Keluarga
dalam arti luas mencakup semua sanak saudara.
§ Keluarga adalah masyarakat paling
asasi.
§ Keluarga merupakan sekolah yang
terbaik untuk menanamkan keutamaan-keutamaan sosial, misalnya perhatian
terhadap sesama, rasa tanggung jawab, sikap adil dan bertenggang rasa, dan
sebagainya.
§
Arti dan Makna Keluarga menurut Gaudium et Spes (52)
Keluarga adalah adalah Sekolah Kemanusiaan yang kaya. Akan tetapi supaya kehidupan dan
perutusan keluarga dapat mencapai kepenuhan, dituntut komunikasi batin yang
baik, yang ikhlas dalam pendidikan anak. Kehadiran ayah yang aktif sangat
menguntung-kan pembinaan anak-anak, akan tetapi juga perawatan ibu di rumah,
yang dibutuhkan anak-anak dan seterusnya. (GS.52)
1.Cinta dan landasan
Hidup Berkeluarga
Cinta adalah dasar dari hidup perkawinan dan keluarga. Secara
berturut-turut akan kita bicarakan tentang pentingnya cinta dalam hidup kita
dan membina cinta dalam kehidupan perkawinan dan keluarga.
a. Pentingnya cinta dalam hidup kita
b. Membina cinta dalam hidup perkawinan
dan keluarga
§ Menghargai teman hidup sebagai
partner
§ Cinta kasih yang saling memberi dan
menerima
2.
Komunikasi
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi
komunikasi
§ Citra diri: Ketika orang berhubungan
dan berkomunikasi dengan orang lain, dia mempunyai citra diri: dia merasa
dirinya sebagai apa, bagaimana…Ketika berbicara dengan anaknya, seorang ayah
punya citra diri sebagai seorang bapak.
§ Citra pihak lain. Pihak lain yakni:
orang yang diajaknya berkomunikasi.
§ Kondisi: Situasi fisik yang dimiliki
oleh seseorang ketika sedang berkomunikasi.
b. Komunikasi yang mengena
§ Mendengarkan
§ Keterbukaan
§ Sikap percaya
c. Rintangan-rintangan Komunikasi
§ Kepentingan diri sendiri
§ Emosi
§ Permusuhan
§ Pengalaman masa lampau
§ Pembelaan diri
§ Hubungan yang retak atau tak serasi
d. Bentuk-bentuk Komunikasi
§ Diskusi
§ Dialog
§ Bahasa Tubuh
3.
Tugas dan Kewajiban dalam Keluarga
a. Tugas dan kewajiban suami terhadap
istri dan keluarga
§ Suami sebagai kepala keluarga
§ Suami sebagai partner istri
§ Suami sebagai kekasih dari istri
b. Tugas dan Kewajiban Istri Terhadap
suami dan keluarga
§ Istri sebagai hati dalam keluarga
§ Istri sebagai partner dari suami
§ Istri sebagai kekasih suami
4.
Keluarga Berencana
1. Pandangan Gereja Mengenai KB pada umumnya
a. Alasan-alasan mengapa KB sangat urgen
dan penting
·
Alasan
kesejahteraan keluarga
Alasan pertama mengapa KB harus dipromosikan ialah
kesejahteraan keluarga sebagai sel yang paling kecil dari masyarakat. Dengan
KB, mutu kehidupan dapat diselamatkan dan ditingkatkan. Bagaimana hal itu bisa
terjadi?
Ø Dengan KB kesehatan ibu bisa agak
terjamin. Kesehatan di sini dimengerti secara fisik maupun psikis. Setiap
persalinan dan kehamilan memerlukan tenaga ibu.
Ø Dengan KB relasi suami istri bisa
semakin kaya. Kalu kehamilan dan kelahiran terjadi secara terus-menerus, tugas
utama suami istri seolah-olah hanya terpaut pada urusan pengadaan dan pendidkan
anak.
Ø Dengan KB taraf hidup yang lebih
pantas dapat dibangun. Semakin banyak anak berarti semakin banyak mulut dan
kepala yang memerlukan maknanan, pakaian, rekreasi, perawatan kesehatan dan
sebagainya.
Ø Dengan KB pendidikan anak dapat lebih
dijamin. Semua orang tua yang mencintai anak-anaknya pasti inginmemberikan
pendidkan yang sesuai dengan masa modern ini supaya nasib anak-anaknya lebih
baik daripada nasib mereka sendiri.
·
Kepentingan
masyarakat dan umat manusia
b. Pandangan Gereja mengenai Metode KB
pada Khususnya
·
Penilaian
moral tentang metode pada umumnya
Walaupun ajaran Gereja pada umumnya hanya mengakui metode Kb
alamiah, namun Gereja Indonesia melalui uskup-uskupnya mengatakan bahwa dalam
keadaan terjepit para suami istri dapat menggunakan metode lain, asalkan
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Ø Tidak merendahkan martabat istri atau
suami. Misalnya, suami istri tidak boleh pernah dipaksa untuk menggunakan salah
satu metode.
Ø Tidak berlawanan dengan hidup
manusia. Jadi, metode-metode yang bersifat abortif jelas ditolak
Ø Dapat dipertanggungjawabkan secara
medis, tidak membawa efek samping yang menyebabkan kesehatan atau nyawa ibu
berada dalam bahaya.
Evaluasi:
1. Jelaskanlah pandangan Gereja tentang
metode KB pada umumnya!
2. Jelaskanlah pandangan Gereja mengenai
metode KB pada khususnya!
3. Sebutkanlah rintangan-rintangan dalam
berkomunikasi!
E.
PERKAWINAN CAMPUR
1. Problem Perkawinan Campur
a. Alasan terjadinya perkawinan campur
antara lain sebagai berikut:
§ Jumlah umat yang terbatas pada suatu
tempat sehingga muda-mudi Ktolik sulit bertemu dengan teman seiman. Pertemuan
terus-menerus dengan muda-mudi yang berbeda iman pasti bisa menimbulkan rasa
suka satu sama lain. Jika sudah saling jatuh cinta maka jalan menuju perkawinan
terbuka lebar
§ Perkembangan usia, terutama untuk
wanita. Jika usia sudah beranjak tua maka simpati dan lamaran dari mana saja
akan lebih gampang diterima
§ Karakter, status sosial, dan jaminan
sosial ekonomi. Seseorang yang mempunyai karakter atau status sosial dan
jaminan sosial ekonomi yang baik akan lebih gampang diterima. Pertimbangan segi
iman tidak lagi menjadi terlalu dominan.
§ Pergaulan sudah terlalu jauh sehingga
harus dilanjutkan.
b. Akibat Perkawinan campur
§ Iman suami atau istri bisa terguncang
§ Pendidikan anak mungkin tak menentu
§ Banyak persoalan keluarga tidak bisa
dipecahkan karena keyakinan yang berbeda
2.
Perkawinan Campur Beda Agama
Dalam hukum Gereja Katolik perkawinan campur dapat berarti
sebagai berikut.
a. Perkawinan antara seorang Kristen –
Katolik dan seorang yang berbeda agama. Jadi, perkawinan antara seorang yang
dibaptis dan orang yang tidak dibaptis atau penganut agama lain.
b. Perkawinan dua orang Kristen yang
berbeda Gereja. Misalnya antara orang Katolik dan orang Protestan atau
Gereja-gereja Kristen Lainnya. Kedua-duanya telah dibaptis.
3.
Pandangan Katolik dan Islam tentang
perkawinan Campur
a. Pandangan Katolik
Agama Katolik tidak mutlak melarang perkawinan campur antara
orang Katolik dan orang yang berbeda agama, tetapi juga tidak menganjurkannya.
Perkawinan campur beda agama memerlukan dispensasi dari Gereja supaya sah.
Dispensasi ini diberikan dengan persyaratan sebagai berikut:
· Pernyataan tekad pihak Katolik untuk
menjauhkan bahaya meninggalkan imannya dan berjanji untuk sekuat tenaga
mengusahakan pembaptisan dan pendidikan anak-anak yang akan lahir secara
Katolik.
· Pihak bukan Katolik harus diberitahu
mengenai janji pihak Katolik tersebut supaya sebelum menikah ia sadar akan
janji dan kewajiban pihak Katolik.
· Penjelasan kepada kedua belah pihak
tentang tujuan dan sifat-sifat hakiki perkawinan yang tidak boleh disangkal
agar perkawinan itu menjadi sah.
b. Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam perkawinan campur sulit dilakukan,
bahkan tidak mungkin dilaksanakan.
Ø Seorang pria Islam hanya akan menikah
secara sah dengan wanita non-Islam, jika wanita itu memeluk agama yang memiliki Kitab Suci
(Kristen, Yahudi) dan pernikahan itu dilakukan secara Islam, di depan wali
nikah (wanita itu dapat tetap memeluk agamanya). Tanpa adanya wali nikah untuk
pihak wanita, perkawinan itu dianggap tidak sah secara Islam (Islam tidak
mengenal lembaga dispensasi). Dengan demikian, menurut pandangan Islam, pernikahan
yang dilakasanakan secara Katolik tidak sah dan hal itu juga berarti bahwa pria
Islam itu hidup dalam percabulan yang berkepanjangan dengan istrinya yang
Kristen/Katolik.
Ø Seorang wanita Islam tidak boleh
menikah dengan pria yang bukan Islam. Pria pemeluk agama lain yang akan menikah
dengannya harus meninggalkan agamanya dan memeluk agama Islam.
Ø Baik perkawinan campur maupun
perkawinan yang biasa secara Islam dapat diceraikan dengan alasan-alasan yang
sah.
4.
Perkawinan Campur Beda Gereja
Menurut teologi Kristen Protestan,
suatu perkawinan adalah sah jika tekad nikah diungkapakan secara umum sehingga
upacara di Gereja hanya merupakan pemberian berkat dan pesan. Perkawinan bukan suatu sakramen. Sementara,
menurut keyakinan Katolik, jika salah satu diantara kedua mempelai dibaptis di
Gereja Katolik maka peneguhan Gerejanilah yang diperlukan supaya perkawinan itu
sah. Perkawinan adalah suatu sakramen.
Perkawinan campur antara dua orang Kristen, yaitu perkawinan orang Katolik dan
orang Kristen bukan Katolik (perkawinan beda Gereja atau mixta religio) dilarang, jika dilakukan tanpa dispensasi. Meskipun demikian, ”perbedaan Gereja” bukan merupakan halangan yang
menggagalkan perkawinan.
“Tanpa ijin yang tegas dari yang berwewenang, dilarang
perkawinan antara dua orang yang sudah dibaptis, yang diantaranya satu baptis
dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya setelah Pembaptisan dan tidak
meninggalkan secara resmi, sedangkan pihak lain tercatat pada Gereja atau
persekutuan Gerejani yang tidak bersatu penuh dengan Gereja Katolik” (KHK
1124).
Izin yang dituntut oleh kanon ini dapat diberikan oleh uskup
setempat, jika ada alasan yang wajar dan masuk akal. Namun, ia hanya boleh
memberikan izin itu, jika syarat-syarat berikut ini terpenuhi.
1.
Pihak
Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan imannya dan berjanji
dengan jujur bahwa ia akan berusaha sekuat tenaga agar semua anaknya dibaptis
dan dididik di Gereja Katolik.
2.
Mengenai
janji yang wajib dibuat pihak Katolik itu, pihak lain hendaknya diberitahu pada
waktunya dan sedemikian rupa, sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji
dan kewajiban pihak Katolik.
3.
Kedua
pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan dan sifat hakiki perkawinan,
yang tidak boleh ditiadakan oleh pihak manapun (KHK 1125)
Pihak Katolik terikat
pada tata peneguhan perkawinan, yaitu perkawinan di hadapan uskup dan
pastorparoki (atau imam maupun diakon yang diberi delegasi yang sah dan
dihadapan dua orang saksi). Akan tetapi, jika ada
alasan yang berart, uskup berhak memberikan dispensasi dari tata peneguhan itu
(lih.KHK 1127 & 1 dan 2).Jadi. Peneguhan nikah dapat dilaksanakan di depan
pendeta atau pegawai catatan sipil asal mendapat dispensasi dari uskup. Pihak
Katolik wajib memohon dispensasi ini jauh sebelum peresmian perkawinan, bukan
baru pada saat penyelidikan kanonik.
Karena menurut pandangan
Kristen upacara di Gereja hanya merupakan berkat, sedangkan menurut pandangan
Katolik merupakan peneguhan yang membuat perkawinan itu sah maka dalam
perkawinan ekumenis disarankan supaya pendeta membawakan firman dan pastor
memimpin peneguhan atau kesepakatan nikah.
Evaluasi:
1. Jelaskanlah alasan-alasan terjadinya
perkawinan campur!
2. Jelaskanlah pandangan Katolik dan
Islam tentang perkawinan Campur!
3. Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh sepasang pengantin yang beda Gereja agar mendapat dispensasi dari uskup
setempat supaya pernikahan mereka sah menurut Kitab Hukum kanonik no.
1124-1125? Jelaskan!
F.
PANGGILAN HIDUP MEMBIARA/SELIBAT
1.
Arti dan inti Hidup Membiara
Hidup membiara merupakan ungkapan hidup manusia, yang
menyadari bahwa hidupnya berada di hadirat Allah.Agar hidup di hadirat Allah
bisa diungkapkan secara padat dan menyeluruh, orang melepaskan diri dari segala
urusan membentuk hidup berkeluarga. Hal ini
dilakukan mengingat, berdasarkan pengalaman, kesibukan hidup berkeluarga sangat
membatasi kemungkinan untuk mengungkapkan hidup di hadirat Allah secara
menyeluruh dan padat.
Dilihat dari hidup manusia keseluruhan, ternyata hidup
membiara mempunyai nilai dan kepentingannya. Melalui hidup
membiara, umatmanusia semakin menentukan dimensi rohani dalam hidupnya. Dari
pengalaman hidup yang praktis, orang menyadari bahwa dalam keterbatasan hidup
mereka hidup di hadirat Allah tidak dapat dinyatakan dengan bobot yang sama.
Untuk kepentingan itu tampaklah betapa pentingnya hidup membiara bagi hidup
manusia.
Hidup membiara menuntut suatu penyerahan diri secara mutlak
dan menyeluruh. Cara hidup ini merupakan suatu kemungkinan
bagi manusia untuk mengembangkan diri dan pribadinya.Hidup membiara mempunyai
amanatnya sendiri, yaitu menunjukkan dimensi hadirat Allah dalam hidup
manusia.Karenanya, hidup manusia juga disebut panggilan.
2.
Inti Hidup Membiara
Inti Hidup Membiara, yang juga dituntut dari setiap orang
Kristen, ialah persatuan atau keakraban dengan Kristus. Tugas ataupun
kariernya adalah soal tambahan. Tanpa keakraban ini maka kehidupan membiara sebenarnya tak memiliki suatu
dasar. Seorang biarawan hendaknya selalu bersatu
dengan Kristus dan menerima pola nasib hidup Yesus Kristus secara radikal bagi
dirinya. Oleh karena itu, semboyan klasik hidup
membiara adalah: ”mengikuti jejak Tuhan kita Yesus Kristus”, atau
“meniru Kristus”. Contoh hidup akrab dengan Kristus bisa kita temukan dalam
hidup para orang kudus, misalnya Santa Teresia dari Kanak-Kanak Yesus.Sikap
akrabnya dengan Yesus antara lain terungkap dalam doa-doanya.
3.
Arti dan makna kaul-kaul
a. Kaul Kemiskinan
Memiliki harta benda adalah hak
setiap orang. Dengan mengucapkan dan menghayati kaul
kemiskinan, orang yang hidup membiara melepaskan hak untuk memiliki harta benda
tersebut. Ia hendak menjadi seperti Kristus:
dengan sukarela melepaskan haknya untuk memiliki harta benda. Orang yang
mengucapkan kaul kemiskinan rela menyumbangkanbukan hanya harta bendanya demi
kerasulan, melainkan juga tenaga, waktu, keahlian dan keterlampilan; bahkan
segala kemampuan dan seluruh kehidupan.
b. Kaul Ketaatan.
Kemerdekaan dan kebebasan adalah
milik manusia yang sangat berharga. Dengan kaul ketaatan, orang memutuskan
untuk taat seperti Kristus, melepaskan kemerdekaannya, dan taat kepada pembesar
demi kerajaan Allah.Ketaatan religius adalah ketaatan yang diarahkan kepada
kehendak Allah.Ketaatan kepada pembesar merupakan konkretisasi ketaatan kepada
Allah.Maka itu, baik pembesar maupun anggota biasa perlu bersama-sama mencari
dan berorientasi kepada kehendak Allah.
c. Kaul Keperawaan
Dengan kaul keperawanan, sikap
penyerahan diri seorang Kristen dinyatakan dalam seluruh hidup dan setiap segi.
Intikaul keperawanan bukanlah “tidak kawin”, melainkan penyerahan secara
menyeluruh kepada Kristus, yang dinyatakan dengan meninggalkan segala-galanya
demi Kristus dan terus-menerus berusaha mengarahkan diri kepad Kristus,
terutama melalui hidup doa.
d. Bentuk kaul keperawanan yang lain
Di samping hidup membiara, masih ada
bentuk hidup selibat lain yang dijalani oleh orang-orang yang memilih hidup
tidak menikah demi pengabdian mereka kepada sesama dan Tuhan. Misalnya, ada
perawat yang tidak menikah karena ingin mengabdikan diri sepenuhnya bagi
pelayanan orang sakit. Ada guru yang tidak menikah karena ingin
mengabdi kepada anak didiknya secara penuh.Mereka tidak menikah bukan karena
tidak memiliki cinta.Justru karena mereka memiliki cinta kepada Allah dan
sesama, dengan suka rela mereka meninggalkan hak mereka untuk menikah, demi
Kerajaan Surga.
e. Kaul-kaul adalah tanda Kerajaan Allah
Dengan menghayati kaul-kaul kebiaraan
itu, para biarawan menjadi tanda:
a.Yang memperingatkan kita supaya tidak
terlalu “terpaku” pada kekayaan dan harta, kuasa dan kedudukan, perkawinan dan
kehidupan berkeluarga, walupun semua itu sangat bernilai;
b. Yang mengarahkan kita kepada Kerajaan
Allah, yang sudah mulai terungkapkan kepada kenyataan yang akan datang.
Evaluasi:
1. Apa inti dari hidup membiara?
2. Jelaskanlah makna kaul kemiskinan,
keperawanan dan ketaatan!
G.
CITA-CITA DAN KARIER
1.
Menggapai cita-cita
Usaha mencapai cita-cita dijalankan melalui suatu proses
penyempurnaan diri. Upaya penyempurnaan diri dilakukan melalui pemilihan dan
pelaksanaan suatu pekerjaan atau karya tertentu, yang sebaiknya sesuai dengan
bakat, minat dan ketrampilan. Kesempurnaan diri secara utuh dan terpadu
menuntut persiapan, ketekunan, dan kesediaan mengembangkan diri melalui
peningkatan pekerjaan yang dilaksanakan, baik dari segi mutu, cara, maupun
hasil.
Dalam mengejar cita-cita orang harus memilih bidang karya:
ekonomi, pendidikan, sosial, kesehatan, hukum, politik dan sebagainya. Pemilihan dan penentuan bidang
kerja tertentu ini penting mengingat pada zaman modern ini spesialisasi semakin
ditonjolkan. Di samping itu, masih ada alasan lain mengapa orang harus memilih
pekerjaan tertentu.
a. Orang bisa melaksanakan pekerjaan
yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
b. Orang bisa belajar dan mempraktikkan
hal-hal yag dipelajari selama masa pendidikannya
c. Orang bisa merencanakan serta
mengembangkan pekerjaannya, dan dengan demikian mengembangkan kariernya.
2.
Mengembangkan Karier
Biasanya, orang bekerja untuk mengejar dan meningkatkan
karier. Karier seseorang meningkat apabila pekerjaan
orang itu memberikan hasil yang semakin berkualitas dan meningkat.Peningkatan
mutu pekerjaan dapat dilakukan melalui pembinaan.Dengan pembinaan, orang
diharapkan dapat menjalankan pekerjaannya secara lebih efektif, dapat
mengembangkan pekerjaan dan kariernya ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih
luas, serta dapat semakin dibentuk dan diperkaya. Pembinaan dalam rangka
pengembangan diri dan peningkatan karier dapat dilaksanakan antara lain dengan
langkah-langkah berikut.
a. Menerima pekerjaan apa pun wujudnya
(asl baik dan tidak melanggar hukum) dan dengan senang hati menjalankannya
dengan tekun, setia, dan bertanggungjawab.
b. Mencari atau mempergunakan kesempatan
untuk belajar lebih lanjut, baik formal maupun informal. Dengan belajar,
diharapkan pengetahuan bertambah, keterampilan lebih terasah, sikap terhadap
pekerjaan menjadi lebih benar dan tepat.
Supaya semangat belajar dapat dipacu dibutuhkan:
1. Motivasi yang tangguh
2. Konsetrasi dan keaktifan yang prima
3. Pengaturan waktu yang berimbang
4. Kerajinan mengulangi pelajaran.
Evaluasi:
1. Jelaskanlah alasan-alasan memilih
pekerjaan tertentu!
2. Apa yang harus dibutuhkan supaya
semangat belajar dapat dipacu? Jelaskan!
H. PANGGILAN KARYA/PROFESI
HAKEKAT KERJA SEBAGAI PROFESI
Pekerjaan adalah suatu panggilan, yakni perwujudan peran
serta manusia dalam karya Allah: mengembangkan dan menyempurnakan kehidupan,
demi terciptanya kesejahteraan/keselamatan manusia. Dalam Kitab Kejadian, Allah
dilukiskan sebagai Pencipta yang sedang bekerja dan pada hari ketujuh
beristirahat dari pekerjaan-Nya (Kej 1: 1-2:3)
2. Arti dan Makna Kerja menurut
Ajaran Sosial Gereja
a. Studi
Dokumen Ajaran Sosial Gereja
tentang Kerja
Simaklah ajaran Gereja berikut ini.
Kerja Sebagai
Partisipasi dalam Kegiatan Sang Pencipta
Menurut
Konsili Vatikan II: ”Bagi kaum beriman ini merupakan keyakinan: kegiatan
manusia baik perorangan maupun kolektif, atau usaha besar-besaran itu sendiri,
yang dari zaman ke zaman dikerahkan oleh banyak orang untuk memperbaiki
kondisi-kondisi hidup mereka, memang sesuai dengan rencana Allah. Sebab
manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, menerima titah-Nya, supaya
menaklukkan bumi beserta segala sesuatu yang terdapat padanya, serta menguasai
dunia dalam keadilan dan kesucian; ia mengemban perintah untuk mengakui Allah
sebagai Pencipta segala-galanya, dan mengarahkan diri beserta seluruh alam
kepada-Nya, sehingga dengan terbawahnya segala sesuatu kepada mausia nama Allah
sendiri dikagumi di seluruh bumi”.
Sabda
perwahyuan Allah secara mendalam ditandai oleh kebenaran asasi, bahwa manusia,
yang diciptakan menurut citra Allah, melalui kerjanya berperan serta dalam
kegiatan Sang Pencipta, dan dalam batas-batas daya-kemampuan manusiawinya
sendiri ia dalam arti tertentu tetap makin maju dalam menggali sumber-sumber
daya serta nilai-nilai yang terdapat dalam seluruh alam tercipta. Kebenaran itu
tercantum pada awal Kitab suci sendiri, dalam Kitab Kejadian , yang
menyajikankarya penciptaan dalam bentuk ”kerja” yang dijalankan oleh Allah
selama ”enam hari”, sedangkan Ia ”beristirahat” pada hari ketujuh. Selain itu
kitab terakhir Kitab suci menggemakan
sikap hormat yang sama terhadap segala yang telah dikerjakan oleh Allah
melalui ”karya” penciptaan-Nya, bila menyatakan: ”Agung dan ajaiblah segala
karya-Mu, ya Tuhan, Allah yang Mahakuasa!”Itu senada dengan Kitab Kejadian,
yang menutup lukisan setiap hari penciptaan dengan pernyataan: ”Dan Allah
melihat bahwa itu baik adanya”
Gambaran
pencitaan, yang terdapat dalam bab pertama Kitab Kejadian dalam arti tertentu
merupakan ”Injil Kerja” yang pertama. Sebab menunjukkan di mana letak martabat
kerja: di situ diajarkan, bahwa manusia harus meneladan Allah Penciptanya dalam
bekerja, sebab hanya manusialah yang mempunyai ciri unik menyerupai Allah.
Manusia harus berpola pada Allah dalam bekerja maupun dalam dalam beristirahat,
sebab Allah sendiri bermaksud menyajikankegiatan-Nya menciptakan alam dalam
bentuk kerja dan istirahat. Kegiatan Allah di dunia itu selalu berlangsung,
seperti dikatakan oleh Kristus: ”Bapa-Ku tetap masih berkarya...”: Ia berkarya
degnankuasa pencipta-Nya dengan melestarikan bumi, yang dipanggil-Nya untuk
berada dari ketiadaan, dan Ia berkarya dengan kuasa penyelamat-Nya dalam hati
mereka, yang sejak semula telah ditetapkan-Nya untuk ”beristirahat” dalam
persatuan dengan diri-Nya di ”rumah Bapa”-Nya. Oleh karena itu kerja manusia
pun tidak hanya memerlukan istirahat setiap”hari ketujuh”, melainkan tidak dapat pula terdiri
hanya dari penggunaan tenaga manusiawi dalam kegiatan lahir. Kerja harus
membuka peluang bagi manusia untuk menyiapkan diri, dengan semakin menjadi
seperti yang dikehendaki oleh Allah, bagi ”istirahat” yang disediakan oleh
Tuhan bagi para hamba dan sahabat-Nya.
Kesadaran,
bahwa kerja manusia ialah partisipasi dalam kegiatan Allah, menurut Konsili,
bahkan harus meresapi ”pekerjaan sehari-hari yang biasa sekali. Sebab pria
maupun wanita, yang-sementara mencari nafkah bagi diri maupun keluarga
mereka-melakukan pekerjaan mereka sedemikian rupa sehingga sekaligus
berjasa-bakti bagi masyarakat, memang dengan tepat dapat berpandangan, bahwa
dengan jerih-payah itu mereka mengembangkan karya Sang Pencipta, ikut memenuhi
kepentingan sesama saudara, dan menyumbangkan kegiatan mereka pribadi demi
terlaksananya rencana ilahi dalam sejarah”.
Spiritualitas
Kristiani kerja itu harus merupakan warisan bagi semua. Khususnya pada zaman
modern, spiritualitas kerja harus menampilkan kematangan yang dibutuhkan untuk
menanggapi ketegangan-ketegangan dan ketidak-tenangan budi dan hati. ”Umat
kristiani tidak beranggapan seolah-olah karya-kegiatan, yang dihasilkan oleh
bakat-pembawaan serta daya-kekuatan manusia, berlawanan dengan kuasa Allah,
seakan-akan ciptaan yang berakalbudi menyaingi Penciptanya. Mereka malahan
yakin, bahwa kemenangan-kemenangan bangsa manusia justru menandakan keagungan
Allah dan merupakan buah rencana-Nya yang tak terperikan. Adapun semakin
kekuasaan manusia bertambah, semakin luas pula jangkauan tanggung jawabnya,
baik itu tanggung jawab perorangan maupun tanggung jawab bersama. Maka jelaslah
pewartaan kristiani tidak menjauhkan orang-orang dari usaha membangun dunia pun
tidak mendorong mereka untuk mengabaikan kesejahteraan sesama; melainkan mereka
justru semakin terikat tugas untuk melaksanakan itu”.
Kesadaran,
bahwa melalui kerja manusia berperan serta dalam karya penciptaan merupakan
motif yang terdalam untuk bekerja di pelbagai sektor. ”Jadi”-menurut Konstitusi
”Lumen Gentium”-”kaum beriman wajib mengakui makna sedalam-dalamnya, nilai
serta tujuan segenap alam tercipta, yakni: demi kemuliaan Allah. Lagi pula
mereka wajib saling membantu juga melalui kegiatan duniawi untuk hidup dengan
lebih suci, supaya dunia diresapi semangat Kristus, dan dengan lebih tepat
mencapai tujuannya dalam keadilan, cinta kasih dan damai....Maka dengan
kompetensinya di bidang profan serta dengan kegiatannya, yang dari dalam
diangkat oleh rahmat Kristus, hendaklah mereka memberi sumbangan yang andal,
supaya hal-hal tercipta dikelola dengan kerja manusia, keahlian teknis, serta
kebudayaan yang bermutu, menurut penetapan Sang Pencipta dan dalam cahaya
Sabda-Nya”(LE 25)
*****
Centesimus Annus (Ulang tahun ke
seratus)
“....Sumber pertama segala sesuatu
yang baik ialah karya Allah sendiri yang menciptakan bumi dan manusia, serta
mengurniakan bumi kepada manusia, supaya manusia dengan jerih-payahnya
menguasainya dan menikmati buah-hasilnya (bdk. Kej 1:28-29). Allah
menganugerahkan bumi kepada seluruh umat manusia, supaya bumi menjadi sumber
kehidupan bagi semua anggotanya, tanpa mengecualikan atau mengutamakan siapapun
juga. Itulah yang menjadi dasar mengapa harta-benda bumi diperuntukkan bagi
semua orang. Sebab berkat kesuburannya dan kemampuannya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan manusia,; bumi merupakan kurnia Allah yang pertama untuk
menjadi sumber kehidupan baginya. Tetapi bumi tidak menghasilkan buah-buahnya
tanpa tanggapan manusia yang khusus terhadap anugerah Allah, atau : tanpa
kerja. Melalui kerja manusia dengan menggunakan akal-budi dan kebebasannya
menguasai bumi, dan menjadikannya kediaman yang layak bagi dirinya. Begitulah
manusia menjadikan miliknya sebagian bumi yang diperolehnya denganbekerja.
Itulah asal-mula milik perorangan. Sudah jelaslah ia terikat kewajiban untuk
tidak menghalang-halangi sesamanya mendapat bagiannya dari kurnia Allah. Bahkan
ia harus bekerja sama dengan mereka untuk bersama-sama menguasai seluruh bumi.....”
(CA 31).
b. Pendalaman/Diskusi
§ Setelah menyimak
beberapa dokumen Ajaran Sosial Gereja di atas, sekarang cobalah
berdiskusi dengan teman-temanmu dalam
kelompok untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini.
1) Apa arti dan makna dari
kerja
2) Apa tujuan manusia
bekerja?
3) Apa hubungan kerja dengan
doa?
4) Apa hubungan kerja dengan
istiahat?
1.
ARTI KERJA
Kerja merupakan kegiatan manusia yang dimaksudkan bagi
kemajuan manusia, jasmani maupun rohani. Ada 2 hal yang perlu diingat berkaitan
dengan kerja:
(1) Kerja memerlukan pemikiran secara sadar
yang diarahkan pada tujuan tertentu, dan oleh karenanya martabat luhur manusia
semakin nyata. Manusia tidak boleh dipaksa untuk melakukan kerja tertentu,
karena bertentangan dengan hak asasi manusia.
(2) Setiap pekerjaan yang halal sama
mulianya, meskipun dilihat dari segi tujuan dan hasil bisa berbeda. Namun,
nilai insaninya serta martabatnya tidak berubah karenanya.
2. MAKNA
KERJA
Ada berbagai makna kerja, a.l.:
(1) Makna Ekonomis:
Kerja dipandang sebagai pengerahan tenaga untuk menghasilkan
sesuatu yang diperlukan atau diinginkan oleh seseorang atau masyarakat.
Maka kerja dapat dibedakan: pekerjaan produktif, distributif, &
jasa. Dalam konteks ini kerja ialah usaha memenuhi dan
menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan hidup primer.
(2) Makna Sosiologis:
Kerja, selain sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan sendiri,
sekaligus juga mengarahkan kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat. Selain itu,
melalui kerja manusia dimungkinkan untuk membangun relasi dengan sesamanya.
(3) Makna Antropologis:
Kerja memungkinkan manusia untuk membina dan membentuk diri
pribadinya. Dengan kerja, manusia menjadi lebih manusia dan lebih bisa menjadi
teman bagi sesamanya dengan menggunakan akal budi, kehendak, tenaga, daya
kreatif, serta rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan umum.
3. TUJUAN KERJA
Tujuan kerja manusia juga dapat dirumuskan berbeda-beda,
a.l.:
(1) Mencari Nafkah
Bekerja
untuk memenuhi kebutuhan hidup, memperoleh kedudukan dan kejayaan ekonomi.
Nilai kerja yang hendak dicapai bersifat jasmani.
(2) Memajukan
Teknik & Kebudayaan
Bekerja
untuk memajukan salah satu cabang teknologi atau kebudayaan, dari yang paling
sederhana sampai ke yang paling canggih. Nilai kerja yang hendak dicapai
bersifat rohani.
(3) Menyempurnakan
diri sendiri
Bekerja
untuk menyempurnakan dirinya sendiri. Ia menemukan harga dirinya. Dkl. Untuk
mengembangkan kepribadiannya. Nilai kerja yang hendak dicapai untuk
memanusiakan dirinya, atau meningkatkan kualitas hidupnya.
(4) Memuliakan
Tuhan
Bekerja
dihayati sebagai partisipasi nyata manusia dalam karya penciptaan Allah. Karya
penciptaan Allah masih harus dilanjutkan oleh manusia, karena Allah menjadikan
manusia sebagai partner kerjanya untuk menyempurnakan penciptaan.
Dalam
hal ini hendaknya kita menjadi kritis terhadap etos kerja masyarakat. Perlu
kiranya memperhatikan beberapa hal berikut ini:
(1) Dengan tujuan apa Anda kerja?
(2) Kalau sudah memperoleh uang, untuk apa
uang itu?
(3) Apakah kebutuhan hidup Anda ada
batasnya? Mengapa?
(4) Apa yang akan Anda lakukan, jika hasil
kerja keras Anda masih belum juga dapat menutupi kebutuhan hidup?
(5) Sampai kapan Anda mampu bekerja keras?
(6) Apa yang Anda pikirkan, jika sudah tidak
mampu bekerja keras lagi?
Ada 2 pola pikir dalam memandang makna Belajar & Kerja
Pola pikir pada umumnya:
Ø Sekolah untuk mempersiapkan diri memasuki dunia kerja
Ø Bekerja, untuk memperoleh dan mengumpulkan uang
Pola pikir baru:
Ø Sekolah, untuk menemukan cara belajarnya sendiri,
sehingga dengan senang hati mau belajar, bahkan akan menjadi pembelajar seumur
hidup (long life education).
Ø Bekerja, untuk belajar, sehingga terus menerus mampu
meningkatkan taraf hidupnya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Apa itu BELAJAR?
Ø Belajar merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara
mental atau fisik yang diikuti dengan kesempatan untuk merefleksikan hal-hal
yang harus dilakukan, sehingga dapat mencapai tujuan dengan memanfaatkan
sebagai pengetahuan/pengalaman yang sudah dimiliki.
Ø Belajar: merupakan suatu PROSES UNTUK MENEMUKAN
SESUATU dari pada suatu PROSES UNTUK MENGUMPULKAN SESUATU.
4. HUBUNGAN ANTARA KERJA
& DOA
Doa & Kerja mempunyai hubungan yang sinergi:
(1) Doa dapat menjadi daya dorong bagi kita
untuk bekerja lebih tekun, lebih tabah, dan tawakal.
(2) Doa dapat memurnikan pola pikir (etos),
motivasi, dan orientasi kerja.
(3) Doa seringkali merupakan saat-saat
refleksi diri dan kerja yang sangat efektif.
(4) Doa dapat menjadikan kerja manusia
mempunyai aspek religius & adikodrati.
Sesungguhnya orang yang paling bahagia adalah orang yang
menikmati pekerjaannya dengan segenap jiwa-raganya, dan dari situ ia dapat
memberi kepuasan dan kebahagiaan bagi sesamanya.
Bekerja adalah suatu kodrat manusia yang tidak dapat ditolak
atau dihindari. Kerja bukan sekedar kewajiban, tetapi juga hak bagi setiap
manusia. Tentu saja manusia ingin memiliki pekerjaan yang “mulia” dan sesuai
dengan bakat serta talenta yang ada padanya.
Kerja & belajar merupakan 2 hal yang tak dapat
dipisahkan. Belajar yang paling efektif adalah dilakukan sambil melakukan
tindakan (=bekerja) atau learning by doing. Melalui kerja kita akan
banyak menjalani proses belajar. Belajar menekuni apa yang ia kerjakan, agar
semakin kompeten/ahli. Oleh karena kita tidak mungkin hanya menekuni bidang
tertentu saja, kita pun belajar hal lain. Dengan demikian, tak dapat ditolak
lagi bahwa kita harus mempelajari bidang apa saja yang dapat dipelajari, entah
suka atau tidak suka, selagi masih ada kesempatan untuk belajar.
Belajar dalam pendidikan formal, non-formal, maupun non formal, sesungguhnya baru
merupakan permulaan atau titik tolak belajar kita. Belajar yang sesungguhnya
adalah sewaktu kita telah menyelesaikan pendidikan dan memasuki dunia kerja.
Dari pekerjaan itu kita akan banyak belajar tentang banyak hal. Dan dengan
belajar hidup manusia akan menjadi semakin bermutu dan berarti. Atau manusia
menemukan dirinya sebagai “gambar dan rupa Allah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar