Minggu, 01 Desember 2019

MATERI PELAJARAN AGAMA KATOLIK KELAS XII: BAB I PANGGILAN HIDUP UMAT ALLAH




BAB I
PANGGILAN HIDUP UMAT ALLAH

 


 A.   HIDUP MANUSIA YANG BERMAKNA

a.    Makna Hidup Manusia menurut  Ajaran Kitab Suci
1)      Menelusuri Ajaran Kitab Suci
§  Setelah memahami makna hidup manusia melalui cerita cerita kehidupan, sekarang cobalah dalam kelompok menelusuri ajaran Kitab Suci Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) yang mengajarkan bahwa hidup manusia sangatlah berharga. 
2)   Menyimak teks Kitab Suci
§  Setelah kamu menemukan ayat-ayat Kitab Suci yang dimaksudkan, sekarang cobalah menyimak  teks Kitab Suci berikut ini.


Delapaan Sabda Bahagia Yesus
Mateus 5:1 – 12

“Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya.2 Maka Yesus pun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya. 3 "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.4 Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.5 Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.6 Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.7 Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.8 Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.9 Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.10 Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.11 Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.12 Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu”.

3)   Pendalaman/Diskusi

§  Setelah menyimak teks Kitab Suci Mateus 5:1-12, cobalah kamu merumuskan pertanyaan-pertanyaan untuk berdiskusi tentang hidup manusia yang bermakna menurut teks ayat-ayat  Kitab Suci tersebut.

3.    Menghayati Hidup sebagai anugerah Tuhan yang sangat berharga bagi diriku

Untuk menghayati hidup sebagai anugerah Tuhan yang sangat berharga bagi setiap insan manusia, maka sekarang buatlah refleksi pribadi dan rencanakan suatu aksi.



a.    Refleksi
§  Tulislah sebuah refleksi tentang makna hidupmu sebagai sesuatu yang berharga  dari Tuhan. Apa saja yang perlu kamu lakukan sebagai pelajar untuk mengisi hidupmu  secara berkualitas.

b.   Aksi
§  Tulislah sebuah rencana aksi  untuk menghargai hidupmu sendiri dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang bermutu, seperti rajin belajar, disiplin terhadap peraturan di sekolah dan di rumah serta di masyarakat.
§  Hasil refleksimu dapat dipajangkan di Mading kelas.



B.   PANGGILAN HIDUP BERKELUARGA
C.   PERKAWINAN DALAM TRADISI KATOLIK

1.       Arti dan Makna Perkawinan
a.    Pandangan Tradisional: perkawinan merupakan suatu ikatan, yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat kaum kerabat si laki-laki dengan kaum kerabat si wanita dalam suatu hubungan tertentu.
b.    Pandangan Hukum (Yuridis): Perkawinan adalah perjanjian. Dengan perkawinan, seorang pria dan seorang wanita saling berjanji untuk hidup bersama, di depan masyarakat agama atau masyarakat negara, yang menerima dan mengakui perkawinan itu sebagai sah
c.     Pandangan Sosiologi: perkawinan merupakan suatu persekutuan hidup yang mempunyai bentuk, tujuan, dan hubungan yang khusus antara anggota. Ia merupakan suatu lingkungan hidup yang khas. Dalam lingkungan hidup ini, suami dan istri dapat mencapai kesempurnaan atau kepenuhannya sebagai manusia, sebagai bapak dan ibu.
d.    Pandangan Antropologis: perkawinan merupakan persekutuan cinta. Pada umumnya, hidup perkawinan dimulai dengan cinta. Ia ada dan akan berkembang atas dasar cinta. Seluruh kehidupan bersama sebagai suami istri didasarkan dan diresapi seluruhnya oleh cinta.
e.    Pandangan agama-agama: (1) Agama Islam: nikah adalah hidup bersama antara suami istri. Nikah itu diperbolehkan bahkan dianjurkan oleh rasulullah SAW kepada umat manusia sesuai dengan tabiat alam, yang mana antara golongan pria dan golongan wanita itu saling membutuhkan untuk mengadakan ikatan lahir batin sebagai suami istri yang sah dalam terang hukum agama. (2) Agama Katolik: perkawinan adalah sakramen, suatu peristiwa di mana Allah bertemu dengan suami istri itu.

2.      Perkawinan sebagai sakramen
Perkawinan Kristiani bersifat sakramental. Bagi pasangan yang telah dibaptis, ketika mereka saling memberikan konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi sah sekaligus sakramen.
Sakramen artinya tanda. Perkawinan sebagai sakramen artinya perkawinan sebagai tanda;
1. Tanda Cinta Allah
Dalam sakramen perkawinan, suami adalah tanda kehadiran Allah untuk mencintai sang istri dan istri menjadi tanda cinta dan kebaikan Allah bagi sang suami. Mereka dipilih untuk menjadi utusan atau tangan Tuhan. Melalui suami istri Tuhan hadir menolong, menguatkan dan membahagiakan pasangannya. Suami istri melakukan dan mengikrarkan janji di hadapan Tuhan dan umat beriman, itulah yang akan mereka teruskan selama hidup perkawinan mereka saling menyempurnakan atau saling menguduskan sebagai anak Allah. Pasangan manusia dicita-citakan oleh Tuhan menurut hakikatnya sendiri: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya,… laki-laki dan perempuan…”(Kej 1: 26-28). Hakikat Tuhan ialah cinta yang maha sempurna, yang menyatukan Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Allah mengehndaki supaya manusia menjadi seperti hakikat-Nya itu. Satu dalam cinta yang mesra. Manusia yang menjadi dua ketika Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam, langsung disatukan kembali secara lebih sempurna dalam cinta. Allah membimbing hawa kepada Adam dan Adam kegirangan berucap, “Inilah dai tulang dari tulangku dan daging dari dagingku!” Sejak saat itu, memang lelaki harus meninggalkan ibu-bapaknya untuk bersatu padu jiwa dan raga istrinya. Mereka bukan lagi dua, melainkan satu!
2. Tanda Cinta Kristus kepada GerejaNya
Perkawinan Kristiani menjadi gambaran dari hubungan cinta yang lebih mulia dari hubungan cinta yang mulia yaitu persatuan hidup Kristus dengan umatNya. Santo Paulus berkata, “Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya untuk menguduskannya.”
Jadi dapatlah kita menarik kesimpulan: cinta kasih suami istri didukung oleh kesatuan Gereja, tetapi kesatuan yang berlangsung dalam perkawinan Kristiani. Oleh karena itu, kehidupan perkawinan disebut sel hidup umat Allah.
Sakramen perkawinan adalah hidup pasangan itu, mulai pada hari pernikahan mereka saat maut memisahkan mereka. Hidup perkawinan adalah suatu ziarah iman dalam cinta, bila dihayati hari demi hari dengan setia, akan menjadi tanda bahwa Allah mencintai kita tanpa batas.

3.      Sifat-sifat Perkawinan sakramental
Apa saja sifat-sifat hakiki perkawinan Katolik?
Kanon 1056 mengatakan: “Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terputuskan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus karena sakramen”.
Jadi sifat-sifat hakiki perkawinan Katolik, yaitu:
  1. Unitas, artinya kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita menurut relasi cinta yang eksklusif. Dengan kata lain, tidak ada hubungan khusus di luar pasutri. Sifat unitas mengecualikan relasi di luar perkawinan, poligami, PIL, WIL.
  2. lndissolubilitas, tak terceraikan, artinya ikatan perkawinan hanya diputuskan oleh kematian salah satu pasangan atau keduanya. "Apa yang sudah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (bdk. Mat 19:6; Mrk 10:9). Untuk itu, dituntut adanya kesetiaan dalam untung dan malang, dalam suka dan duka. Dalam hal inilah saling pengertian, pengampunan sangat dituntut. 
  3. Sakramental, artinya sakramentalitas perkawinan dimulai sejak terjadinya konsensus/perjanjian antara dua orang dibaptis yang melangsungkan perkawinan. Perkawinan disebut sakramental, artinya menjadi tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan. Untuk itu, dari pasangan suami-istri dituntut adanya cinta yang utuh, total, radikal, tak terbagi sebagaimana cinta Yesus kepada Gereja-Nya (bdk. Ef 5: 22-33). 
Patut diperhatikan bahwa penafsiran serta penerapannya di dalam Gereja Katolik tak jarang berbeda dengan di kalangan non-Katolik. Sifat-sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga perkawian kedua tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah diceraikan secara sipil atau menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tidak mengakui validitas atau efektivitas perceraian itu. Dengan demikian suami-istri yang telah cerai itu di mata Gereja masih terikat perkawinan dan tak dapat menikah lagi dengan sah. Andaikata itu terjadi, maka di mata Gereja terjadi poligami suksesif.
Monogami berarti perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Jadi, merupakan lawan dari poligami atau poliandri. Sebenarnya UU Perkawinan RI No. 1 tahun 1974 juga menganut asas monogami, tetapi asas ini tidak dipegang teguh karena membuka pintu untuk poligami, tetapi tidak untuk poliandri.
Sebaiknya dibedakan implikasi/konsekuensi moral dan hukum. Di sini perhatian lebih dipusatkan pada hukum. Dengan berpangkal pada kesamaan hak pria dan wanita yang setara, sehingga poligami dan poliandri disamakan: 
  1. Mengesampingkan poligami simultan: dituntut ikatan perkawinan dengan hanya satu jodoh pada waktu yang sama.
  2. Mengesampingkan poligami suksesif, artinya, berturut-turut kawin cerai, sedangkan hanya perkawinan pertama yang dianggap sah, sehingga perkawinan berikutnya tidak sah. Kesimpulan ini hanya dapat ditarik berdasarkan posisi dua sifat perkawinan seperti yang dicanangkan Kan. 1056: monogami eksklusif dan tak terputuskannya ikatan perkawinan. Implikasi dan konsekuensi ini lain - tetapi hal ini termasuk moral - ialah larangan hubungan intim dengan orang ketiga.
Bagaimana memahami makna dari ‘sifat kodrati keterarahan’ dalam perkawinan Katolik?
Sifat kodrati keterarahan kepada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum). Selain tiga “bona” (bonum = kebaikan) perkawinan yang diajarkan St. Agustinus, yakni:
  1. Bonum prolis: kebaikan anak, bahwa perkawinan ditujukan kepada kelahiran dan pendidikan anak,
  2. Bonum fidei: kebaikan kesetiaan, menunjuk kepada sifat kesetiaan dalam perkawinan, dan
  3. Bonum sacramenti: kebaikan sakramen, menunjuk pada sifat permanensi perkawinan; Gaudium et Spes no. 48 menambah lagi satu “bonum” yang lain, yakni bonum coniugum (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).
Sifat kodrati keterarahan kepada anak. Perkawinan terbuka terhadap kelahiran anak dan pendidikannya. KHK 1983 tidak lagi mengedepankan prokreasi sebagai tujuan pertama perkawinan yang mencerminkan tradisi berabad-abad sejak Agustinus, melainkan tanpa hirarki tujuan-tujuan menghargai aspek personal perkawinan dan menyebut lebih dahulu kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum).
Perkawinan sebagai Sakramen. Perkawinan Katolik bersifat sakramental. Bagi pasangan yang telah dibaptis, ketika mereka saling memberikan konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi sah sekaligus sakramen.
Apa yang menjadi paham dasar perjanjian perkawinan Katolik?
Paham dasar perkawinan Katolik adalah “Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membantu antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak, oleh Kristus Tuhan, perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen.” (kan 1055 §1).
  1. Perjanjian Perkawinan
Perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (covenant, foedus). Dalam tradisi Yahudi, perjanjian berarti suatu agreement (persetujuan) yang membentuk (menciptakan) suatu hubungan sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan mengikat sama seperti hubungan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah. Konsekuensinya, hubungan itu tidak berhenti atau berakhir, sekalipun kesepakatan terhadap perjanjian itu ditarik kembali. Berdasarkan pilihan bebas dari suami-istri, suatu perjanjian sesungguhnya akan meliputi relasi antar pribadi seutuhnya yang terdiri dari hubungan spiritual, emosional dan fisik.
  1. Kebersamaan Seluruh Hidup
Dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae; “consortium” asalnya dari con = bersama, sors = nasib, jadi kebersamaan senasib; totius vitae = seumur hidup, hidup seutuhnya). Ini terjadi oleh perjanjian perkawinan. Suami-istri berjanji untuk menyatukan hidup mereka secara utuh hingga akhir hayat (bdk. janji perkawinan).
  1. Antara Pria dan Wanita
Pria dan wanita diciptakan menurut gambaran Allah dan diperuntukkan satu sama lain, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling memperkaya. Menjadi “satu daging” (Kej 2:24).

Apa yang dimaksud dengan ‘kesetiaan yang sempurna dan tidak mungkin dibatalkan lagi oleh siapapun, kecuali oleh kematian’?

Setia dalam hal apa? Empat hal yang sudah diuraikan di atas, yakni persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita, memelihara dan memperkembangkan persetujuan pribadi, membangun saling mencintai sebagai suami-istri, membangun hidup berkeluarga yang sehat. Tidak melaksanakan salah satunya berarti sudah tidak setia. Apalagi kalau kemudian mengalihkan perhatiannya kepada sesuatu yang lain: membangun persekutuan yang lain, membuat persetujuan pribadi yang lain, membangun hubungan saling mencintai sebagai suami-istri dengan orang lain, membangun suasana kekeluargaan dengan orang lain (juga saudara): ini dosanya besar sekali.
Satu pedoman untuk kesetiaan yang sempurna adalah Kristus sendiri. Ia setia kepada tugas perutusanNya, Ia setia kepada BapaNya, Ia setia kepada manusia, kendati manusia tidak setia kepada-Nya.
Persekutuan perkawinan terjadi oleh dua pihak, yakni oleh suami dan istri. Maka, tidak ada instansi atau siapapun yang akan dapat memutuskan persetujuan pribadi itu. Bahkan suami-istri itu sendiripun tidak dapat memutuskannya, sebab persekutuan itu dibangun atas dasar kehendak Tuhan sendiri. Dan Tuhanlah yang merestuinya. Maka, pemutusan persekutuan perkawinan bisa dipandang sebagai pemotongan kehidupan pribadi suami/istri. Ini bisa berarti pembunuhan, karena pribadi itu dihancurkan.
Pengecualian ini didengar tidak enak. Namun, nyatanya, misteri kematian tidak terhindarkan. Karena kematian yang wajar, persetujuan pribadi itu menjadi batal, karena pribadi yang satu sudah tidak mampu lagi secara manusiawi melaksanakan persetujuannya. 
TUJUAN PERKAWINAN
1. UU Perkawinan RI: Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia, tetap dan sejahtera.
2. Dalam tradisi Gereja, KHK, kanon 1055: Tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi panggilan Tuhan, memperoleh kesejahteraan suami istri, dan kelahiran serta kesejahteraan anak
Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan hidup bersama sebagai suami istri pada umumnya adalah 1membantu satu sama lain, dengan saling memberikan dan mendapatkan pengertian dengan mengalami perkembangan berkat yang lain. 2. membantu satu sama lain dan membiarkan diri dibantu oleh pasangan dalam perjalanan hidup menuju kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat.
Di dunia: dengan mengalami diri sebagai orang yang bermanfaat bagi yang lain, dengan memberikan dan mendapatkan pengertian, denganmengalami perkembangan berkat yang lain
Di akhirat: dengan bersatu denga Yang Mahabaik karena menjadi teman hidup yang setia.
4.      Tantangan dan kesulitan dalam perkawinan
Di sini dibicarakan tantangan-tantangan yang disebabkan oleh factor-faktor dalam perkawinan itu sendiri.
1.   Kebosanan dan Kejenuhan
Pada masa pacaran, pertunangan, dan pemulaan perkawinan orang biasanya berada pada tahap cinta emosional dan romantic. Cinta tanpa banyak pertimbangan rasional. Pada masa-masa itu, hidup ini terasa sangat indah dan menyenangkan. Si dia di mata kita sungguh tanpa cacat cela. Cinta kita kepadanya merupakan cinta ultroistis, cinta yang rela berkorban sampai melupakan diri demi kebahagiaan.
Akan tetapi, sesudah beberapa waktu, kita mulkai merasa bahwa si dia bukanlah seseorang yang tanpa cacat cela. Dari hari ke hari semakin banyak cacat dan kekurangan yang kita lihat. Mungkinh cacat yang kecil, tetapi kalau terus ditimbun dari waktu ke waktu, kita akan merasa kecewa, bosan, dan jenuh. Kita bisa jatuh kepada cinta diri.
Dan, kalau kita mulai mementingkan diri sendiri, timbullah rupa-rupa bencana. Di mana ada cinta diri, di sana tidak ada tempat lagi bagi sikap bertengang rasa, sikap saling mengerti dan memaafkan. Yang ada hanyalah nafsu kesenangan sendiri, nafsu menang sendiri, nafsu tahu sendiri, dan sebagainya.
Dalam situasi ini seperti ini cinta romantic harus diganti dengan cinta yang rasional. Cinta dengan dimensi tanggung jawab yang lebih kuat. Tanggung jawab kepada teman hidup dan anak-anak.

2.   Perbedaan Pendapat dan Pandangan
Perbedaan pendapat dan pandangan sebenarnya soal biasa, aal saja orang mau saling menghormati pendapat dan keyakinan teman hidup. Dalam hal-hal yang agak prinsipii (misalnya menyangkut pendidikan anak dalam keluarga), dapat dicari jalan keluar bersama-sama, dengan kepala dingin. Persoalan akan muncul kalau salah seorang dari suami istri itu mulai memaksakan kehendaknya serta mengambil keputusan dan tindakan secara sepihak. Pihak lain tentu merasa disepelekan dan dianggap sepi. Dengan demikian percekcokkan tidak dapat dielakkan. Setiap saat pertengkaran dan bentrokan selalu bisa terjadi. Perbedaan pandangan ini sering terjadi dalam bidang pendidikan anak, pengaturan kesejahteraan keluarga, KB, dan sebagainya.

   Ketakserasian dalam Hubungan Seksual
Hubungan seksual merupakan soal yang sangat peka pula. Kalau tidak bertenggang rasa, bisa menimbulkan kerenggangan antara suami dan istri. Kalau suami terlalu menuntut, baik mengenai waktu dan cara maupun tempat untuk berhubungan seksual, istri akan merasa bahwa dirinya hanyalah alat pemuas nafsu suami saja. Dengan itu, ia akan merasa sangat tersinggung dan menderita. Sebaliknya, kalau istri menolak melayani suaminya atau melayaninya dengan setengah hati, suami akan merasa sangat tersinggung. Banyak suami yang jatuh ke pelukan wanita lain atau pelacur karena dendam kepada istrinya atau untuk mendapat pelayanan seksual yang lebih memuaskan daripada istrinya.

4·   Perzinahan/Perselingkuhan
Sering kali, oleh suatu keadaan tertentu, suami dan istri tidak bisa melakukan hubungan seksual untuk jangka waktu tertentu. Mungkin karena urusan tugas, urusan kesehatan, masa hamil tua, minggu-minggu pertama sesudah persalinan, atau halangan-halangan lainnya. Kurangnya perhatian dan pengertian yang diberikan kepada pasangan juga dapat meretakkan keluarga. Dalam situasi semacam ini, salah seorang pasangan dapat merasa tergoda untuk menyeleweng dari kewajiban suci perkawinannya: dia akan mencari kepuasan hubungan seks dengan seorang wanita atau laki-laki yang lain.
Tentu saja, perzinahan adalah pelanggaran berat melawan kesucian dan kesetiaan perkawinan yang mendatangkan penderitaan besar untuk semua anggota keluarga, termasuk pihak yang tidak setia.
Gereja Katolik cukup tegas dalam menilai dosa perzinahan itu, namun Gereja tak pernah mengizinkan perceraian. Jalan satu-satunya yang wajar untuk pasutri itu ialah bertobat, saling mengampuni dan memabarui cinta yang ikhlas demi kebahagiaan seluruh keluarga.
   Kemandulan
Kalau salah satu pasangan ternyata mandul, sering kali timbul krisis dalam perkawinan. Biasanya, satu pihak mempersalahkan pihak lain walaupun kemandulan bukanlah kesalahan pribadi. Apa yang penting dalam situasi itu ialah janganlah berhenti saling mencintai, tetapi pakailajh akal budi dan cobalah memeriksakan diri dulu ke dokter. Bisa terjadi bahwa kemandulan tidak bersifat tetap, tetapi dapat diatasi secara fisiologis dan psikologis.
Akan tetapi, kalau ternyata salah seorang dari pasangan suami istri ini mandul tetap, mereka harus menerima kenyataan pahit ini. Mereka tidak boleh percaya kepada pendapat kolot bahwa perkawinannya tidak direstui oleh nenek moyang, dan dengan demikian boleh merencanakan perceraian sebagai jalan keluar. Perkawinan Kristen tetap mempunyai arti yang dalam, meski tanpa kemungkinan untuk mendapat anak sendiri.

2.      Tantangan yang Bersifat dari Luar
Yang dimaksudkan dengan tantangan yang bersifat dari luar ialah tantangan-tantangan yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar perkawinan itu sendiri. Kita akan menyebutkan dua contoh saja.
1.   Pengaruh-pengaruhg atau suasana negatif yang bisa mengganggu dan mengaburkan martabat lembaga perkawinan. Pengaruh-pengaruh atau suasana negatif tersebut antara lain sebagai berikut.
 Kawin cerai yang semakin banyak terjadi di dalam masyarakay kita sekarang ini. Dikatakan lebih dari 50% perkawinan di Indonesia berakhir dengan perceraian.
 Suasana dan kebiasaan berpoligami, atau dengan gaya yang lebih modern: memiliki wanita simpanan. Belum lagi penyelewengan-penyelewengan (sampai dengan kebiasaan tukar kunci) yang semakin biasa di zaman ini. Akhir-akhir ini banyak Koran mengungkapkan bahwa ternyata sebagian besar bapak (suami) di kota-kota besar di Indonesia pernah menyeleweng. Ibu-ibu pun ternyata mulai berperilaku yang sama.
Cinta bebas dan pelacuran dalam berbagai bentuk semakin meluas. Koran-koran menuliskan bagaimana suasana mesum ini sudah melibatkan para pelajar, mahasiswi, ibu-ibu rumah tangga, dokter, bahkan anak-anak dibawah umur. Suasana ini mungkin akan semakin mewabah.
   Media massa dan sarana-sarana lain yang bersifat pornografis telah menyusup secara meluas ke dalam masyarakat kita.
Semua hal yang disebutkan di atas tentu saja bisa merupakan godaan besar bagi pasangan suami istri untuk mengkhianati kesetiaan perkawinan mereka.
2.   Masalah-masalah lain yang tak terlalu langsung berhubungan dengan perkawinan, tetapi bisa mempunyai akibat yang cukup besar untuknya. Sekedar contoh, kita bisa menyebutkan satu diantaranya, yaitu keadaan ekonomi rumah tangga yang morat-marit. Suatu rumah tangga yang selalu terbentur pada kesulitan ekonomi, bisa mengalami kegagalan dalam kehidupan perkawinan. Kesulitan ekonomi rumah tangga bisa membuat seseorang berprasangka buruk tentang teman hidupnya. Dalam keadaan semacam itu bapak atau ibu bisa mulai berspekulasi, mencari peruntungan dalam bentuk judi, korupsi, mencuri, dan sebagainya.
Menghadapi kesulitan-kesulitan itu, kiranya agak sulit untuk memberikan suatu resep yang siap pakai. Akan tetapi, ada saran yang bersifat sangat umum tetapi penting, yaitu dalam setiap kesulitan yang timbul, suami istri harus jujur dan saling terbuka satu sama lain. Banyak kesulitan dan ketegangan dalam rumah tangga bisa semakin menumpuk dan berlarut-larut karena baik suami maupun istri tidak berani berbicara secara terus terang tentang kesulitan-kesulitan yang dialami. Padahal, sekali mereka berani membukia hati, segala kesulitan itu bisa tersingkir, atau setidak-tidaknya menjadi lebih ringan.
Tantangan Perakawinan Zaman NOW
Pernikahan adalah wadah yang mempersatukan wanita dan pria, dimana mereka saling berbagi senang maupun duka sampai tua. Namun, setelah memasuki pernikahan, terkadang dengan mudahnya mereka bercerai karena merasa tidak cocok satu sama lain. Tapi bukan berarti pernikahan itu sepenuhnya horor. Kalau tahu tantangn terberat pernikahan masa kini, mudah-mudahan tidak kaget dan karenanya terus bersama selama sisa hidup:
Tantangan Pertama: Wanita yang Mandiri
Bukan berarti wanita yang mandiri dan bisa menghasilkan uang sendiri tidak diperbolehkan. Banyak dari mereka yang berpendidikan tinggi dan punya karir bagus, bahkan terkadang lebih bagus daripada si suami. Keadaan ini sering bikin konflik dalam rumah tangga.
Solusi: Sebelum menikah, ada baiknya dibahas berdua konsep keluarga yang seperti apa yang ingin dibina. Mulai dari cara mendidik anak, pembagian kerja di rumah, maupun cara menghadapi konflik. Di dalam rumah tangga perlu kerjasama. Harus ada porsi give and take yang seimbang.
Tantangan Kedua: Nilai Sakral Pernikahan yang Memudar
Menurut konsultan pernikahan, Adriana S. Ginanjar, nilai sakral pernikahan sekarang ini telah memudar. Banyak pasangan muda yang mengambil keputusan bercerai padahal baru menikah 1-3 tahun. Tidak ada tekanan dari keluarga besar, tidak ada kekuatiran tentang anak yang masih kecil, maupun status single mom yang juga tidak lagi menakutkan.
Solusi: Coba untuk lebih bersabar. Menyatukan dua orang yang berbeda tidak cukup dengan waktu 1-3 tahun karena memang sulit dua kepribadian, dua pemikiran, dua individu yang berlatar belakang berbeda menjadi satu keputusan dalam rumah tangga.
Tantangan Ketiga: Kebutuhan yang Meningkat
Kebutuhan terus meningkat, terutama dalam hal keuangan. Biaya pendidikan, harga makanan, angsuran rumah maupun mobil, begitupun kebutuhan akan hiburan pun tidak bisa dipisahkan. Kalau tidak dikonsep dengan baik, bisa jadi salah satu pemicu masalah perceraian.
Solusi: Suami dan istri harus sepakat bagaimana mereka mengatur keuangan mereka. Buat perencanaan dengan jujur. Kalau uang belanja dirasa kurang ya bilang. Jangan sampai ada pos pengeluaran yang ditutup-tutupi, itu yang bahaya. Kalau memutuskan untuk hidup sebagai keluarga yang sederhana, lakukanlah karena keputusan bersama.
Tantangan Keempat: Godaan Sosial
Masa kini, banyak godaan yang bisa membuat seseorang berselingkuh, apalagi kalau bertemu seseorang yang dirasa lebih pengertian dibandingkan pasangan. Perselingkuhan juga jadi lebih gampang sejak adanya sosial media. Banyak orang yang berselingkuh walau sebatas chatting di BBM ataupun bertukar status twitter. Bahaya sekali bukan?
Solusi: Kepercayaan adalah komponen yang terpenting di dalam hubungan suami istri. Menjaga kepercayaan itulah yang harus kita lakukan. Sekali kepercayaan dirusak, susah mengembalikannya. Penting buat menghabiskan waktu luang bersama pasangan maupun keluarga. Kalau sehari-hari sudah sibuk, siapkanlah hari libur buat ngobrol, nonton bareng, ataupun kegiatan lainnya yang membuat keharmonisan makin terasa. Bangunlah keluarga dalam dasar agama yang kuat dan baik.
Empat tantangan terbesar ini memang tidak mudah, ditambah lagi masih ada tantangan lainnya. Namun, jika sebuah keluarga dibangun dengan dasar takut akan Tuhan, saling pengertian, dan saling terbuka serta berkomunikasi dengan baik, pernikahan yang sulit pada awalnya pun dapat jadi harmonis.
Tantangan dan Keprihatinan Lain zaman NOW dalam Perkawinan Katolik
1.   Rapuhnya nilai kesetiaan dari perkawinan katolik.
Di abad yang serba praktis ini dengan arus hidup yang hedonisme, konsumeris, materialis ada sebagian kelurga kristiani yang mengalami persoalan di dalam menghayati nilai- nilai dasar perkawinan katolik. Ini berkaitan dengan penghayatan terhadap nilai monogamy perkawinan dan kesetiaan yang utuh terhadap pasangan hidup. Misalnya adanya PIL, WIL, TTM, Praktek poligami bahkan sampai pada keputusan untuk berpisah ketika suasana kelurga tidak harmonis,
2. Kemerosotan penanaman dan penghayatan religiusitas dalam keluarga
Arus hedonis, konsumerisme, dan materialis membawah dampak yang luar biasa bagi penanaman dan penghayatan nilai-nilai religiusitas di dalam keluarga. Ada banyak kasus yang di jumpai di lapangan bahwa munculnya perkembangan teknologi informatika membawah pengaruh negatif bagi penanaman dan penghayatan nilai- nilai religiusitas dalam keluarga. Irama hidup keluarga hanya disibukan dengan kegiatan yang jauh dari dari hal-hal rohani. Misalnya menonton TV dan VCD, bermain HP, Sibuk dengan playstation. Sehingga aktivitas rohani berupa doa pribadi, doa bersama, dan shering masalah iman dalam keluarga sering terabaikan.

3.Tantangan dari lingkungan keluarga
Tantangan-tantangan yang ada dihadapan keluarga tidak hanya berasal dari masyarakat luas melainkan juga dari lingkungan keluarga sendiri, baik dari keluarga besar maupun keluarga inti. Yang di maksud keluarga besar adalah suami-istri dan sanak saudara dari suami maupun dari istri di mana pun mereka berada. Sedangkan keluarga inti adalah suami-istri dan anak-anak. Contoh tantangan dari dalam keluarga inti;
a.  kurangnya transparansi antara suami dan istri,
b.  kurangnya kerukunan antara suami dan istri
c.  kurangnya komunikasi antara suami dan istri
d.  kurangnya kesetiaan suami dan istri
e.  adanya kecemburuan dari suami atau istri
f.   adanya dominasi suami atau istri atas pasanganya.
g.  adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga.

4. Beban ekonomi biaya tinggi yang harus di hadapi oleh keluarga- keluarga moderen dewasa ini.
           Globalisasi yang kuat ditandai dengan sistim persaingan kekuatan- kekuatan ekonomi antar Negara dengan sistim pasar bebasnya yang membawah dampak dalam kehidupan social, ekonomi keluarga dewasa ini. Hal ini harus membuat keluarga hidup dengan biaya ekonomi tinggi. Ekonimi biaya tinggi ini terjadi di segala sector: baik kebutuhan pokok, pelayanan jasa transportasi, pendidikan maupun berbagai pelayanan public. Ekonomi dengan biaya tinggi sering menimbulkan tekanan baik psikis maupun fisik yang bisa menjadi sumber kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam menghadapi tantangan dan keperihatinan actual saat ini, gereja mempunyai beberapa harapan-harapan terhadap keluarga- keluarga kristiani: antara lain:
1. Keluarga yang mau di bangun harus dipersiapkan dengan baik.
Maksudnya bahwa: ada persiapan menjelang perkawinan yaitu persiapan:
a.  Persiapan Jauh. Persiapan sejak masa kanak-kanak terutama dengan pendidikan nilai, baik nilai manusiawi maupun nilai-nilai kristiani pada khususnya.

b.  Persiapan dekat. Hidup keluarga hendaknya disiapkan secara intensif sejak masa pacaran. Pemuda dan pemudi yang dalam tahap pacaran harus di dampingi secara bijaksana agar mereka dapat berpacaran dengan sehat. Hendaknya dalam masa pacaran mereka diharapakan lebih mengenal dengan baik keperibadian dari dari pasanganya masing-masing.

c.  Persiapan akhir. Beberapa bulan menjelang pernikahan calon pengantin disiapkan secara lebih intensif lewat kursus persiapan perkawinan, penyelidikan kanonik dan pengumuman nikah.

2. Keluarga didasarkan pada perkawinan yang sah
Hal ini antara lain berarti: bahwa ke dua mempelai harus mengawali hidup berkeluarga mereka dengan upacara peneguhan perkawinan sesuai dengan hukum gereja, seperti termuat dalam kitab hukum kanonik dari kanon 1108- 1123.

3. Keluarga menjadi komunitas hidup dan kasih
Gereja berharap bahwa keluarga menjadi komunitas kehidupan dan kasih yang ditandai oleh sikap hormat dan syukur terhadap anuhgerah kehidupan serta kasih dari semua anggotanya. Harapan gereja ini antara lain terungkap dalam konstitusi pastoral konsili vatikan ke II yakni “gaudium et spes 48” dan seruan apostolic paus
Yohanes Paulus ke II yang berjudul” familiaris consortio 17-41”.

5.      Persiapan Perkawinan
Pernikahan/perkawinan
a.      Mendalami Perkawinan dan Hidup keluarga sebagai Karier Pokok
b.      Memperhatikan Hukum Sipil dan Hukum Gereja Tentang Perkawinan
Perkawinan menjadi sah kalau calon suami istri itu memberikan persetujuan mereka untuk hidup bersama sebagai suami istri di hadapan seorang imam dan dua orang saksi. Selanjutnya dari pasangan itu dituntut banyak syarat supaya perkawinan mereka sungguh sah, misalnya:
·   Persetujuan itu diberikan secara bebas dan ikhlas
·   Pria paling kurang berumur 16 tahun dan wanita 14 tahun
·   Tidak menderita impotensi
·   Salah satu dari pasangan itu atau kedua-duanya tidak terikat oleh perkawinan dengan orang lain atau tahbisan dan kaul yang publik dan kekal
·   Keduanya tidak mempunyai hubungan darah dalam garis lurus
·   Tidak terlibat pembunuhan suami atau istri lama untuk perkawinan yang baru
c.       Memilih Pasangan yang benar dan baik.
Apa saja yang harus diperhatikan dalam memilih pasangan sejati?
·   Kita hendaknya memilih pasangan hidup yang sungguh mencintai kita dan yang kita cintai, dengan cinta yang sungguh pribadi
·   Sifat dan karakter dari pasangan kiranya perlu diperhatikan.
·   Kesehatan jasmani dan jiwani terjamin
·   Usia yang agak sepadan
·   Pendidikan yang tidak terlalu berbeda jauh
·   Sebisa mungkin berkeyakinan dan iman yang sama

d.      Hal- hal lain
·   Alangkah baiknya kalau salah satu dari pasangan atau kedua-duanya sudah memiliki pekerjaan, yang akan menjadi jaminan untuk memperoleh rejeki. Tidaklah pada tempatnya berani menikah, pada hal keduanya masih menganggur.
·   Sangat baik kalau pasangan yang akan menikah sudah memiliki rumah, walalupun rumah kontrakan.
·   Memiliki tabungan atau dana merupakan hal yang wajar. Sulit dibayangkan menikah tanpa tabungan.

Evaluasi:
1.      Jelaskanlah arti perkawinan menurut pandangan hukum, sosiologis, antropologis, tradisional!
2.      Bagaimana sifat perkawinan dalam Gereja Katolik?
3.      Jelaskanlah tantangan dari dalam dan dari luar dalam hidup perkawinan!


D.   TANTANGAN DAN PELUANG UNTUK MEMBANGUN KELUARGA YANG DICITA-CITAKAN
1.    Ajaran Kitab Suci 
a.    Menelusuri Ajaran Kitab Suci

Mateus 19;1-6

“1Setelah Yesus selesai dengan pengajaran-Nya itu, berangkatlah Ia dari Galilea dan tiba di daerah Yudea yang di seberang sungai Yordan. 2 Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan Ia pun menyembuhkan mereka di sana. 3 Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?" 4 Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? 5 Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."

b.   Pendalaman  

§  Setelah menyimak kisah tersebut, guru mengajak para peserta didik untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan teks Kitab Suci yang telah mereka baca.   Pertanyaan-pertanyaan itu misalnya:
1)   Apa pesan dari teks Mat 19:1-6
2)   Apa yang dicobai orang Farisi pada Yesus?
3)   Apa jawaban Yesus?
4)    Mengapa mereka mau mencoba Yesus?
5)   Apa sifat keluarga menurut teks tersebut?

c.    Penjelasan

§  Setelah para peserta didik mengajukan pertanyaan-pertanyaan, kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelas atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, guru memberikan masukan, misalnya sebagai berikut:

-       Perkawinan itu persekutuan cinta antara pria dan wanita yang secara sadar dan bebas menyerahkan diri beserta segala kemampuannya untuk selamanya. Dalam penyerahan itu suami isteri berusaha makin saling menyempurnakan dan bantu membantu. Hanya dalam suasana hormat-menghormati dan saling menerima inilah, dalam keadaan manapun juga, persekutuan cinta itu dapat berkembang hingga tercapai kesatuan hati yang dicita-citakan.

-       Tuhan menghendaki agar kesatuan antara suami dan istri  tidak terceraikan, karena perkawinan merupakan tanda kesetiaan Allah kepada manusia dan kesetiaan Kristus kepada Gereja-Nya. Atau dengan kata lain: menjadi tanda kesetiaan cinta Allah kepada setiap orang.Menjadi saksi akan kesetiaan perkawinan yang tak terceraikan ini adalah salah satu tugas pasangan Kristiani yang paling genting saat ini, di saat dunia dikaburkan oleh banyak pandangan yang menurunkan derajat perkawinan, seolah hanya pelampiasan keinginan jasmani semata. Jika pasangan suami istri dan anak- anak hidup dalam kasih yang total, maka keluarga menjadi gambaran nyata sebuah Gereja, sehingga tepatlah jika keluarga itu disebut sebagai Gereja kecil atau ecclesia domestica. Sebab dengan menerapkan kasih seperti teladan Kristus, keluarga turut mengambil bagian di dalam hidup dan misi Gereja dalam membangun Kerajaan Allah.
2.    Ajaran Gereja
a.  Menelusuri ajaran Gereja
§   Guru mengajak para peserta didik untuk menelusuri ajaran – ajaran Gereja Katolik tentang perkawinan. Rujukan misalnya; Ajaran Konsili Vatikan II, Ensiklik-ensiklik para Paus tentang keluarga.
§  Guru mengajak para peserta didik untuk menyimak ajaran Gereja dalam Konsili Vatikan II berikut ini.

Pengembangan perkawinan dan keluarga merupakan tugas semua orang
“Keluarga merupakan suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi hati penuh kebaikan, kesepakatan suami-isteri, dan kerja sama orang tua yang tekun dalam pendidikan anak-anak. Kehadiran aktif ayah sangat membantu pembinaan mereka tetapi  juga pengurusan rumah tangga oleh ibu, yang terutama dibutuhkan oleh anak-anak yang masih muda, perlu dijamin, tanpa maksud supaya pengembangan peranan sosial wanita yang sewajarnya dikesampingkan.
Melalui pendidikan hendaknya anak-anak dibina sedemikian rupa, sehingga nanti bila sudah dewasa mereka mampu penuh tanggung jawab mengikuti panggilan mereka, juga panggilan religius, serta memilih status hidup mereka. Maksudnya juga, supaya bila kemudian mereka mengikat diri dalam pernikahan, mereka mampu membangun keluarga sendiri dalam kondisi-kondisi moril, sosial dan ekonomis yang menguntungkan. Merupakan kewajiban orang tua atau para pengasuh, membimbing mereka yang lebih muda dalam membentuk keluarga dengan nasehat bijaksana, yang dapat mereka terima dengan senang hati; tetapi hendaknya para pendidik itu menjaga, jangan samapai mendorong mereka melalui paksaan langsung atau tidak langsung, untuk mengikat pernikahan atau memilih orang tertentu menjadi jodoh mereka.
Demikianlah keluarga, lingkup berbagai generasi bertemu dan saling membantu untuk meraih kebijaksanaan yang lebih penuh, dan untuk memperpadukan hak-hak pribadi-pribadi dengan tuntutan-tuntutan hidup sosial lainnya, merupakan dasar bagi masyarakat. Maka dari itu siapa saja, yang mampu mempengaruhipersekutuanpersekutuan dan kelompok-kelompok sosial, wajib memberi sumbangan yang efektif  untuk mengembangkan perkawinan dan hidup berkeluarga.
Hendaknya pemerintah memandang sebagai kewajibannya yang suci: mengakui, membela dan menumbuhkan  jati diri perkawinan dan keluarga, melindungi tata susila umum dan mendukung kesejahteraan rumah tangga, Hak orang tua untuk melahirkan keturunan dan  medidikanya dalam pangkuan keluarga harus dilindungi. Hendaknya melalui  perundang-undangan yang bijaksana serta pelbagai usaha lainnya juga mereka yang malang, karena tidak mengalami kehidupan keluarga, dilindungi dan diringankan beban mereka dengan bantuan yang mereka perlukan.
Hendaknya umat beriman kristiani, sambil menggunakan waktu yang ada dan membeda-bedakan yang kekal dari bentuk-bentuk yang dapat berubah, dengan tekun mengembangkan nilai-nilai perkawinan dan keluarga, baik melalui kesaksian hidup mereka sendiri maupun melalui kerja sama dengan sesama yang berkehendak baik. Dengan demikian mereka mencegah kesukaran-kesukaran, dan mencukupi kebutuhankebutuhan  keluarga serta menyediakan keuntungan-keuntungan baginya sesuai dengan  tuntutan zaman sekarang. Untuk mencapai tujuan itu semangat kristiani umat beriman, suara hati moril manusia, begitu pula kebijaksanaan serta kemahiran mereka yang menekuni ilmu-ilmu suci, akan banyak membantu.
Para pakar ilmu-pengetahuan, terutama dibidang biologi, kedokteran, sosial dan psikologi, dapat berjasa banyak bagi kesejahteraan perkawinan dan keluarga serta bagi ketenangan suara hati, bila – dengan memadukan hasil studi mereka – mereka berusaha menjelaskan secara makin mendalam pelbagai kondisi yang mendukung pengaturan kelahiran manusia yang dapat di pertanggung jawabkan.
Termasuk tugas para imam, untuk – berbekalkan pengetahuan yang memadai tentang hidup berkeluarga – mendukung panggilan suami-isteri dengan pelbagai upaya pastoral, pewartaan sabda Allah, ibadat liturgis maupun bantuan-bantuan rohani lainnya dalam hidup perkawinan dan keluarga mereka. Tugas para imam pula, untuk dengan kebaikan hatidan dengan sabar meneguhkan mereka ditengah kesukaran-kesukaran, serta menguatkan mereka dalam cinta kasih, supaya terbentuklah keluarga-keluargayang sungguh-sungguh berpengaruh baik.
Pelbagai karya, terutama himpunan-himpunan keluarga, hendaknya berusaha meneguhkan kaum muda dan para suami-isteri sendiri, terutama yang baru menikah, dengan ajaran maupun kegiatan, hidup kemasyarakatan dan kerasulan.
Akhirnya hendaknya para suami-isteri sendiri, yang diciptakan menurut gambar Allah yang hidup dan ditempatkan dalam tata-hubungan antar pribadi yang otentik, bersatu dalam cinta kasih yang sama, bersatu pula dalam usaha saling menguduskan supaya mereka, dengan  mengikuti Kristus sumber kehidupan, di saat-saat gembira maupun pengorbanan dalam panggilan mereka, karena cinta kasih mereka yang setia menjadi saksi-saksi misteri cinta kasih, yang oleh Tuhan diwahyukan kepada dunia  dalam wafat dan kebangkitan-Nya”. (GS.52)

b. Pendalaman
Setelah menyimak teks GS.52 , guru mengajak para peserta didik untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan teks yang telah mereka baca.   Pertanyaan-pertanyaan itu misalnya:
1)        Apa makna keluarga?
2)        Apa manfaat  komunikasi dalam keluarga?
3)        Apa peran bapak dan ibu dalam keluarga?
4)        Apa upaya  Gereja dalam membina keluarga?

c.  Penjelasan
§   Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam diskusi kelompok, guru memberikan penjelasan untuk memberikan wawasan atau pemahaman peserta didik tentang keluarga.

2).    Arti dan makna Keluarga
§  Keluarga dalam arti sempit: melibatkan suami, istri dan anak-anak mereka, disebut keluarga inti. Keluarga dalam arti luas mencakup semua sanak saudara.
§  Keluarga adalah masyarakat paling asasi.
§  Keluarga merupakan sekolah yang terbaik untuk menanamkan keutamaan-keutamaan sosial, misalnya perhatian terhadap sesama, rasa tanggung jawab, sikap adil dan bertenggang rasa, dan sebagainya.
§  Arti dan Makna Keluarga menurut Gaudium et Spes (52)
       Keluarga adalah adalah Sekolah Kemanusiaan yang kaya. Akan tetapi supaya kehidupan dan perutusan keluarga dapat mencapai kepenuhan, dituntut komunikasi batin yang baik, yang ikhlas dalam pendidikan anak. Kehadiran ayah yang aktif sangat menguntung-kan pembinaan anak-anak, akan tetapi juga perawatan ibu di rumah, yang dibutuhkan anak-anak dan seterusnya. (GS.52)

1.Cinta dan landasan Hidup Berkeluarga
Cinta adalah dasar dari hidup perkawinan dan keluarga. Secara berturut-turut akan kita bicarakan tentang pentingnya cinta dalam hidup kita dan membina cinta dalam kehidupan perkawinan dan keluarga.
a.      Pentingnya cinta dalam hidup kita
b.      Membina cinta dalam hidup perkawinan dan keluarga
§  Menghargai teman hidup sebagai partner
§  Cinta kasih yang saling memberi dan menerima

2.      Komunikasi
a.      Faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi
§ Citra diri: Ketika orang berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain, dia mempunyai citra diri: dia merasa dirinya sebagai apa, bagaimana…Ketika berbicara dengan anaknya, seorang ayah punya citra diri sebagai seorang bapak.
§ Citra pihak lain. Pihak lain yakni: orang yang diajaknya berkomunikasi.
§ Kondisi: Situasi fisik yang dimiliki oleh seseorang ketika sedang berkomunikasi.
b.      Komunikasi yang mengena
§ Mendengarkan
§ Keterbukaan
§ Sikap percaya
c.       Rintangan-rintangan Komunikasi
§ Kepentingan diri sendiri
§ Emosi
§ Permusuhan
§ Pengalaman masa lampau
§ Pembelaan diri
§ Hubungan yang retak atau tak serasi
d.      Bentuk-bentuk Komunikasi
§ Diskusi
§ Dialog
§ Bahasa Tubuh

3.      Tugas dan Kewajiban dalam Keluarga
a.      Tugas dan kewajiban suami terhadap istri dan keluarga
§ Suami sebagai kepala keluarga
§ Suami sebagai partner istri
§ Suami sebagai kekasih dari istri
b.      Tugas dan Kewajiban Istri Terhadap suami dan keluarga
§ Istri sebagai hati dalam keluarga
§ Istri sebagai partner dari suami
§ Istri sebagai kekasih suami

4.      Keluarga Berencana
1.      Pandangan Gereja Mengenai KB pada umumnya
a.      Alasan-alasan mengapa KB sangat urgen dan penting
·         Alasan kesejahteraan keluarga
Alasan pertama mengapa KB harus dipromosikan ialah kesejahteraan keluarga sebagai sel yang paling kecil dari masyarakat. Dengan KB, mutu kehidupan dapat diselamatkan dan ditingkatkan. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Ø  Dengan KB kesehatan ibu bisa agak terjamin. Kesehatan di sini dimengerti secara fisik maupun psikis. Setiap persalinan dan kehamilan memerlukan tenaga ibu.
Ø  Dengan KB relasi suami istri bisa semakin kaya. Kalu kehamilan dan kelahiran terjadi secara terus-menerus, tugas utama suami istri seolah-olah hanya terpaut pada urusan pengadaan dan pendidkan anak.
Ø  Dengan KB taraf hidup yang lebih pantas dapat dibangun. Semakin banyak anak berarti semakin banyak mulut dan kepala yang memerlukan maknanan, pakaian, rekreasi, perawatan kesehatan dan sebagainya.
Ø  Dengan KB pendidikan anak dapat lebih dijamin. Semua orang tua yang mencintai anak-anaknya pasti inginmemberikan pendidkan yang sesuai dengan masa modern ini supaya nasib anak-anaknya lebih baik daripada nasib mereka sendiri.
·         Kepentingan masyarakat dan umat manusia

b.      Pandangan Gereja mengenai Metode KB pada Khususnya
·         Penilaian moral tentang metode pada umumnya
Walaupun ajaran Gereja pada umumnya hanya mengakui metode Kb alamiah, namun Gereja Indonesia melalui uskup-uskupnya mengatakan bahwa dalam keadaan terjepit para suami istri dapat menggunakan metode lain, asalkan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Ø  Tidak merendahkan martabat istri atau suami. Misalnya, suami istri tidak boleh pernah dipaksa untuk menggunakan salah satu metode.
Ø  Tidak berlawanan dengan hidup manusia. Jadi, metode-metode yang bersifat abortif jelas ditolak
Ø  Dapat dipertanggungjawabkan secara medis, tidak membawa efek samping yang menyebabkan kesehatan atau nyawa ibu berada dalam bahaya.
Evaluasi:
1.      Jelaskanlah pandangan Gereja tentang metode KB pada umumnya!
2.      Jelaskanlah pandangan Gereja mengenai metode KB pada khususnya!
3.      Sebutkanlah rintangan-rintangan dalam berkomunikasi!

E.      PERKAWINAN CAMPUR

1.      Problem Perkawinan Campur
a.      Alasan terjadinya perkawinan campur antara lain sebagai berikut:
§ Jumlah umat yang terbatas pada suatu tempat sehingga muda-mudi Ktolik sulit bertemu dengan teman seiman. Pertemuan terus-menerus dengan muda-mudi yang berbeda iman pasti bisa menimbulkan rasa suka satu sama lain. Jika sudah saling jatuh cinta maka jalan menuju perkawinan terbuka lebar
§ Perkembangan usia, terutama untuk wanita. Jika usia sudah beranjak tua maka simpati dan lamaran dari mana saja akan lebih gampang diterima
§ Karakter, status sosial, dan jaminan sosial ekonomi. Seseorang yang mempunyai karakter atau status sosial dan jaminan sosial ekonomi yang baik akan lebih gampang diterima. Pertimbangan segi iman tidak lagi menjadi terlalu dominan.
§ Pergaulan sudah terlalu jauh sehingga harus dilanjutkan.
b.      Akibat Perkawinan campur
§  Iman suami atau istri bisa terguncang
§  Pendidikan anak mungkin tak menentu
§  Banyak persoalan keluarga tidak bisa dipecahkan karena keyakinan yang berbeda
2.      Perkawinan Campur Beda Agama
Dalam hukum Gereja Katolik perkawinan campur dapat berarti sebagai berikut.
a.      Perkawinan antara seorang Kristen – Katolik dan seorang yang berbeda agama. Jadi, perkawinan antara seorang yang dibaptis dan orang yang tidak dibaptis atau penganut agama lain.
b.      Perkawinan dua orang Kristen yang berbeda Gereja. Misalnya antara orang Katolik dan orang Protestan atau Gereja-gereja Kristen Lainnya. Kedua-duanya telah dibaptis.
3.      Pandangan Katolik dan Islam tentang perkawinan Campur
a.      Pandangan Katolik
Agama Katolik tidak mutlak melarang perkawinan campur antara orang Katolik dan orang yang berbeda agama, tetapi juga tidak menganjurkannya. Perkawinan campur beda agama memerlukan dispensasi dari Gereja supaya sah. Dispensasi ini diberikan dengan persyaratan sebagai berikut:
·   Pernyataan tekad pihak Katolik untuk menjauhkan bahaya meninggalkan imannya dan berjanji untuk sekuat tenaga mengusahakan pembaptisan dan pendidikan anak-anak yang akan lahir secara Katolik.
·   Pihak bukan Katolik harus diberitahu mengenai janji pihak Katolik tersebut supaya sebelum menikah ia sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik.
·   Penjelasan kepada kedua belah pihak tentang tujuan dan sifat-sifat hakiki perkawinan yang tidak boleh disangkal agar perkawinan itu menjadi sah.
b.      Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam perkawinan campur sulit dilakukan, bahkan tidak mungkin dilaksanakan.
Ø  Seorang pria Islam hanya akan menikah secara sah dengan wanita non-Islam, jika wanita itu memeluk agama yang memiliki Kitab Suci (Kristen, Yahudi) dan pernikahan itu dilakukan secara Islam, di depan wali nikah (wanita itu dapat tetap memeluk agamanya). Tanpa adanya wali nikah untuk pihak wanita, perkawinan itu dianggap tidak sah secara Islam (Islam tidak mengenal lembaga dispensasi). Dengan demikian, menurut pandangan Islam, pernikahan yang dilakasanakan secara Katolik tidak sah dan hal itu juga berarti bahwa pria Islam itu hidup dalam percabulan yang berkepanjangan dengan istrinya yang Kristen/Katolik.
Ø  Seorang wanita Islam tidak boleh menikah dengan pria yang bukan Islam. Pria pemeluk agama lain yang akan menikah dengannya harus meninggalkan agamanya dan memeluk agama Islam.
Ø  Baik perkawinan campur maupun perkawinan yang biasa secara Islam dapat diceraikan dengan alasan-alasan yang sah.
4.      Perkawinan Campur Beda Gereja
Menurut teologi Kristen Protestan, suatu perkawinan adalah sah jika tekad nikah diungkapakan secara umum sehingga upacara di Gereja hanya merupakan pemberian berkat dan pesan. Perkawinan bukan suatu sakramen. Sementara, menurut keyakinan Katolik, jika salah satu diantara kedua mempelai dibaptis di Gereja Katolik maka peneguhan Gerejanilah yang diperlukan supaya perkawinan itu sah. Perkawinan adalah suatu sakramen.
Perkawinan campur antara dua orang Kristen, yaitu perkawinan orang Katolik dan orang Kristen bukan Katolik (perkawinan beda Gereja atau mixta religio) dilarang, jika dilakukan tanpa dispensasi. Meskipun demikian, ”perbedaan Gereja” bukan merupakan halangan yang menggagalkan perkawinan.
“Tanpa ijin yang tegas dari yang berwewenang, dilarang perkawinan antara dua orang yang sudah dibaptis, yang diantaranya satu baptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya setelah Pembaptisan dan tidak meninggalkan secara resmi, sedangkan pihak lain tercatat pada Gereja atau persekutuan Gerejani yang tidak bersatu penuh dengan Gereja Katolik” (KHK 1124).
Izin yang dituntut oleh kanon ini dapat diberikan oleh uskup setempat, jika ada alasan yang wajar dan masuk akal. Namun, ia hanya boleh memberikan izin itu, jika syarat-syarat berikut ini terpenuhi.
1.      Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan imannya dan berjanji dengan jujur bahwa ia akan berusaha sekuat tenaga agar semua anaknya dibaptis dan dididik di Gereja Katolik.
2.      Mengenai janji yang wajib dibuat pihak Katolik itu, pihak lain hendaknya diberitahu pada waktunya dan sedemikian rupa, sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik.
3.      Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan dan sifat hakiki perkawinan, yang tidak boleh ditiadakan oleh pihak manapun (KHK 1125)
Pihak Katolik terikat pada tata peneguhan perkawinan, yaitu perkawinan di hadapan uskup dan pastorparoki (atau imam maupun diakon yang diberi delegasi yang sah dan dihadapan dua orang saksi). Akan tetapi, jika ada alasan yang berart, uskup berhak memberikan dispensasi dari tata peneguhan itu (lih.KHK 1127 & 1 dan 2).Jadi. Peneguhan nikah dapat dilaksanakan di depan pendeta atau pegawai catatan sipil asal mendapat dispensasi dari uskup. Pihak Katolik wajib memohon dispensasi ini jauh sebelum peresmian perkawinan, bukan baru pada saat penyelidikan kanonik.
Karena menurut pandangan Kristen upacara di Gereja hanya merupakan berkat, sedangkan menurut pandangan Katolik merupakan peneguhan yang membuat perkawinan itu sah maka dalam perkawinan ekumenis disarankan supaya pendeta membawakan firman dan pastor memimpin peneguhan atau kesepakatan nikah.


Evaluasi:
1.   Jelaskanlah alasan-alasan terjadinya perkawinan campur!
2.   Jelaskanlah pandangan Katolik dan Islam tentang perkawinan Campur!
3.   Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh sepasang pengantin yang beda Gereja agar mendapat dispensasi dari uskup setempat supaya pernikahan mereka sah menurut Kitab Hukum kanonik no. 1124-1125? Jelaskan!


F.    PANGGILAN HIDUP MEMBIARA/SELIBAT
1.      Arti dan inti Hidup Membiara
Hidup membiara merupakan ungkapan hidup manusia, yang menyadari bahwa hidupnya berada di hadirat Allah.Agar hidup di hadirat Allah bisa diungkapkan secara padat dan menyeluruh, orang melepaskan diri dari segala urusan membentuk hidup berkeluarga. Hal ini dilakukan mengingat, berdasarkan pengalaman, kesibukan hidup berkeluarga sangat membatasi kemungkinan untuk mengungkapkan hidup di hadirat Allah secara menyeluruh dan padat.
Dilihat dari hidup manusia keseluruhan, ternyata hidup membiara mempunyai nilai dan kepentingannya. Melalui hidup membiara, umatmanusia semakin menentukan dimensi rohani dalam hidupnya. Dari pengalaman hidup yang praktis, orang menyadari bahwa dalam keterbatasan hidup mereka hidup di hadirat Allah tidak dapat dinyatakan dengan bobot yang sama. Untuk kepentingan itu tampaklah betapa pentingnya hidup membiara bagi hidup manusia.
Hidup membiara menuntut suatu penyerahan diri secara mutlak dan menyeluruh. Cara hidup ini merupakan suatu kemungkinan bagi manusia untuk mengembangkan diri dan pribadinya.Hidup membiara mempunyai amanatnya sendiri, yaitu menunjukkan dimensi hadirat Allah dalam hidup manusia.Karenanya, hidup manusia juga disebut panggilan.

2.      Inti Hidup Membiara


Inti Hidup Membiara, yang juga dituntut dari setiap orang Kristen, ialah persatuan atau keakraban dengan Kristus. Tugas ataupun kariernya adalah soal tambahan. Tanpa keakraban ini maka kehidupan membiara sebenarnya tak memiliki suatu dasar. Seorang biarawan hendaknya selalu bersatu dengan Kristus dan menerima pola nasib hidup Yesus Kristus secara radikal bagi dirinya. Oleh karena itu, semboyan klasik hidup membiara adalah: ”mengikuti jejak Tuhan kita Yesus Kristus”, atau “meniru Kristus”. Contoh hidup akrab dengan Kristus bisa kita temukan dalam hidup para orang kudus, misalnya Santa Teresia dari Kanak-Kanak Yesus.Sikap akrabnya dengan Yesus antara lain terungkap dalam doa-doanya.

3.      Arti dan makna kaul-kaul
a.      Kaul Kemiskinan
Memiliki harta benda adalah hak setiap orang. Dengan mengucapkan dan menghayati kaul kemiskinan, orang yang hidup membiara melepaskan hak untuk memiliki harta benda tersebut. Ia hendak menjadi seperti Kristus: dengan sukarela melepaskan haknya untuk memiliki harta benda. Orang yang mengucapkan kaul kemiskinan rela menyumbangkanbukan hanya harta bendanya demi kerasulan, melainkan juga tenaga, waktu, keahlian dan keterlampilan; bahkan segala kemampuan dan seluruh kehidupan.
b.      Kaul Ketaatan.
Kemerdekaan dan kebebasan adalah milik manusia yang sangat berharga. Dengan kaul ketaatan, orang memutuskan untuk taat seperti Kristus, melepaskan kemerdekaannya, dan taat kepada pembesar demi kerajaan Allah.Ketaatan religius adalah ketaatan yang diarahkan kepada kehendak Allah.Ketaatan kepada pembesar merupakan konkretisasi ketaatan kepada Allah.Maka itu, baik pembesar maupun anggota biasa perlu bersama-sama mencari dan berorientasi kepada kehendak Allah.
c.       Kaul Keperawaan
Dengan kaul keperawanan, sikap penyerahan diri seorang Kristen dinyatakan dalam seluruh hidup dan setiap segi. Intikaul keperawanan bukanlah “tidak kawin”, melainkan penyerahan secara menyeluruh kepada Kristus, yang dinyatakan dengan meninggalkan segala-galanya demi Kristus dan terus-menerus berusaha mengarahkan diri kepad Kristus, terutama melalui hidup doa.
d.      Bentuk kaul keperawanan yang lain
Di samping hidup membiara, masih ada bentuk hidup selibat lain yang dijalani oleh orang-orang yang memilih hidup tidak menikah demi pengabdian mereka kepada sesama dan Tuhan. Misalnya, ada perawat yang tidak menikah karena ingin mengabdikan diri sepenuhnya bagi pelayanan orang sakit. Ada guru yang tidak menikah karena ingin mengabdi kepada anak didiknya secara penuh.Mereka tidak menikah bukan karena tidak memiliki cinta.Justru karena mereka memiliki cinta kepada Allah dan sesama, dengan suka rela mereka meninggalkan hak mereka untuk menikah, demi Kerajaan Surga.
e.      Kaul-kaul adalah tanda Kerajaan Allah
Dengan menghayati kaul-kaul kebiaraan itu, para biarawan menjadi tanda:
a.Yang memperingatkan kita supaya tidak terlalu “terpaku” pada kekayaan dan harta, kuasa dan kedudukan, perkawinan dan kehidupan berkeluarga, walupun semua itu sangat bernilai;
b.   Yang mengarahkan kita kepada Kerajaan Allah, yang sudah mulai terungkapkan kepada kenyataan yang akan datang.

Evaluasi:
1.      Apa inti dari hidup membiara?
2.      Jelaskanlah makna kaul kemiskinan, keperawanan dan ketaatan!




G.     CITA-CITA DAN KARIER

1.      Menggapai cita-cita
Usaha mencapai cita-cita dijalankan melalui suatu proses penyempurnaan diri. Upaya penyempurnaan diri dilakukan melalui pemilihan dan pelaksanaan suatu pekerjaan atau karya tertentu, yang sebaiknya sesuai dengan bakat, minat dan ketrampilan. Kesempurnaan diri secara utuh dan terpadu menuntut persiapan, ketekunan, dan kesediaan mengembangkan diri melalui peningkatan pekerjaan yang dilaksanakan, baik dari segi mutu, cara, maupun hasil.
Dalam mengejar cita-cita orang harus memilih bidang karya: ekonomi, pendidikan, sosial, kesehatan, hukum, politik dan sebagainya. Pemilihan dan penentuan bidang kerja tertentu ini penting mengingat pada zaman modern ini spesialisasi semakin ditonjolkan. Di samping itu, masih ada alasan lain mengapa orang harus memilih pekerjaan tertentu.
a.      Orang bisa melaksanakan pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
b.      Orang bisa belajar dan mempraktikkan hal-hal yag dipelajari selama masa pendidikannya
c.       Orang bisa merencanakan serta mengembangkan pekerjaannya, dan dengan demikian mengembangkan kariernya.
2.      Mengembangkan Karier
Biasanya, orang bekerja untuk mengejar dan meningkatkan karier. Karier seseorang meningkat apabila pekerjaan orang itu memberikan hasil yang semakin berkualitas dan meningkat.Peningkatan mutu pekerjaan dapat dilakukan melalui pembinaan.Dengan pembinaan, orang diharapkan dapat menjalankan pekerjaannya secara lebih efektif, dapat mengembangkan pekerjaan dan kariernya ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih luas, serta dapat semakin dibentuk dan diperkaya. Pembinaan dalam rangka pengembangan diri dan peningkatan karier dapat dilaksanakan antara lain dengan langkah-langkah berikut.
a.      Menerima pekerjaan apa pun wujudnya (asl baik dan tidak melanggar hukum) dan dengan senang hati menjalankannya dengan tekun, setia, dan bertanggungjawab.
b.      Mencari atau mempergunakan kesempatan untuk belajar lebih lanjut, baik formal maupun informal. Dengan belajar, diharapkan pengetahuan bertambah, keterampilan lebih terasah, sikap terhadap pekerjaan menjadi lebih benar dan tepat.
Supaya semangat belajar dapat dipacu dibutuhkan:
1.      Motivasi yang tangguh
2.      Konsetrasi dan keaktifan yang prima
3.      Pengaturan waktu yang berimbang
4.      Kerajinan mengulangi pelajaran.
Evaluasi:
1.      Jelaskanlah alasan-alasan memilih pekerjaan tertentu!
2.      Apa yang harus dibutuhkan supaya semangat belajar dapat dipacu? Jelaskan!
















H. PANGGILAN KARYA/PROFESI

HAKEKAT KERJA SEBAGAI PROFESI
ž   Pekerjaan adalah suatu panggilan, yakni perwujudan peran serta manusia dalam karya Allah: mengembangkan dan menyempurnakan kehidupan, demi terciptanya kesejahteraan/keselamatan manusia. Dalam Kitab Kejadian, Allah dilukiskan sebagai Pencipta yang sedang bekerja dan pada hari ketujuh beristirahat dari pekerjaan-Nya (Kej 1: 1-2:3)

2. Arti dan Makna Kerja menurut  Ajaran Sosial Gereja

a. Studi  Dokumen Ajaran Sosial  Gereja tentang Kerja
Simaklah ajaran Gereja berikut ini.
Kerja Sebagai Partisipasi dalam Kegiatan Sang Pencipta

            Menurut Konsili Vatikan II: ”Bagi kaum beriman ini merupakan keyakinan: kegiatan manusia baik perorangan maupun kolektif, atau usaha besar-besaran itu sendiri, yang dari zaman ke zaman dikerahkan oleh banyak orang untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup mereka, memang sesuai dengan rencana Allah. Sebab manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, menerima titah-Nya, supaya menaklukkan bumi beserta segala sesuatu yang terdapat padanya, serta menguasai dunia dalam keadilan dan kesucian; ia mengemban perintah untuk mengakui Allah sebagai Pencipta segala-galanya, dan mengarahkan diri beserta seluruh alam kepada-Nya, sehingga dengan terbawahnya segala sesuatu kepada mausia nama Allah sendiri dikagumi di seluruh bumi”.
            Sabda perwahyuan Allah secara mendalam ditandai oleh kebenaran asasi, bahwa manusia, yang diciptakan menurut citra Allah, melalui kerjanya berperan serta dalam kegiatan Sang Pencipta, dan dalam batas-batas daya-kemampuan manusiawinya sendiri ia dalam arti tertentu tetap makin maju dalam menggali sumber-sumber daya serta nilai-nilai yang terdapat dalam seluruh alam tercipta. Kebenaran itu tercantum pada awal Kitab suci sendiri, dalam Kitab Kejadian , yang menyajikankarya penciptaan dalam bentuk ”kerja” yang dijalankan oleh Allah selama ”enam hari”, sedangkan Ia ”beristirahat” pada hari ketujuh. Selain itu kitab terakhir Kitab suci menggemakan  sikap hormat yang sama terhadap segala yang telah dikerjakan oleh Allah melalui ”karya” penciptaan-Nya, bila menyatakan: ”Agung dan ajaiblah segala karya-Mu, ya Tuhan, Allah yang Mahakuasa!”Itu senada dengan Kitab Kejadian, yang menutup lukisan setiap hari penciptaan dengan pernyataan: ”Dan Allah melihat bahwa itu baik adanya”
            Gambaran pencitaan, yang terdapat dalam bab pertama Kitab Kejadian dalam arti tertentu merupakan ”Injil Kerja” yang pertama. Sebab menunjukkan di mana letak martabat kerja: di situ diajarkan, bahwa manusia harus meneladan Allah Penciptanya dalam bekerja, sebab hanya manusialah yang mempunyai ciri unik menyerupai Allah. Manusia harus berpola pada Allah dalam bekerja maupun dalam dalam beristirahat, sebab Allah sendiri bermaksud menyajikankegiatan-Nya menciptakan alam dalam bentuk kerja dan istirahat. Kegiatan Allah di dunia itu selalu berlangsung, seperti dikatakan oleh Kristus: ”Bapa-Ku tetap masih berkarya...”: Ia berkarya degnankuasa pencipta-Nya dengan melestarikan bumi, yang dipanggil-Nya untuk berada dari ketiadaan, dan Ia berkarya dengan kuasa penyelamat-Nya dalam hati mereka, yang sejak semula telah ditetapkan-Nya untuk ”beristirahat” dalam persatuan dengan diri-Nya di ”rumah Bapa”-Nya. Oleh karena itu kerja manusia pun tidak hanya memerlukan istirahat setiap”hari  ketujuh”, melainkan tidak dapat pula terdiri hanya dari penggunaan tenaga manusiawi dalam kegiatan lahir. Kerja harus membuka peluang bagi manusia untuk menyiapkan diri, dengan semakin menjadi seperti yang dikehendaki oleh Allah, bagi ”istirahat” yang disediakan oleh Tuhan bagi para hamba dan sahabat-Nya.
            Kesadaran, bahwa kerja manusia ialah partisipasi dalam kegiatan Allah, menurut Konsili, bahkan harus meresapi ”pekerjaan sehari-hari yang biasa sekali. Sebab pria maupun wanita, yang-sementara mencari nafkah bagi diri maupun keluarga mereka-melakukan pekerjaan mereka sedemikian rupa sehingga sekaligus berjasa-bakti bagi masyarakat, memang dengan tepat dapat berpandangan, bahwa dengan jerih-payah itu mereka mengembangkan karya Sang Pencipta, ikut memenuhi kepentingan sesama saudara, dan menyumbangkan kegiatan mereka pribadi demi terlaksananya rencana ilahi dalam sejarah”.
            Spiritualitas Kristiani kerja itu harus merupakan warisan bagi semua. Khususnya pada zaman modern, spiritualitas kerja harus menampilkan kematangan yang dibutuhkan untuk menanggapi ketegangan-ketegangan dan ketidak-tenangan budi dan hati. ”Umat kristiani tidak beranggapan seolah-olah karya-kegiatan, yang dihasilkan oleh bakat-pembawaan serta daya-kekuatan manusia, berlawanan dengan kuasa Allah, seakan-akan ciptaan yang berakalbudi menyaingi Penciptanya. Mereka malahan yakin, bahwa kemenangan-kemenangan bangsa manusia justru menandakan keagungan Allah dan merupakan buah rencana-Nya yang tak terperikan. Adapun semakin kekuasaan manusia bertambah, semakin luas pula jangkauan tanggung jawabnya, baik itu tanggung jawab perorangan maupun tanggung jawab bersama. Maka jelaslah pewartaan kristiani tidak menjauhkan orang-orang dari usaha membangun dunia pun tidak mendorong mereka untuk mengabaikan kesejahteraan sesama; melainkan mereka justru semakin terikat tugas untuk melaksanakan itu”.
            Kesadaran, bahwa melalui kerja manusia berperan serta dalam karya penciptaan merupakan motif yang terdalam untuk bekerja di pelbagai sektor. ”Jadi”-menurut Konstitusi ”Lumen Gentium”-”kaum beriman wajib mengakui makna sedalam-dalamnya, nilai serta tujuan segenap alam tercipta, yakni: demi kemuliaan Allah. Lagi pula mereka wajib saling membantu juga melalui kegiatan duniawi untuk hidup dengan lebih suci, supaya dunia diresapi semangat Kristus, dan dengan lebih tepat mencapai tujuannya dalam keadilan, cinta kasih dan damai....Maka dengan kompetensinya di bidang profan serta dengan kegiatannya, yang dari dalam diangkat oleh rahmat Kristus, hendaklah mereka memberi sumbangan yang andal, supaya hal-hal tercipta dikelola dengan kerja manusia, keahlian teknis, serta kebudayaan yang bermutu, menurut penetapan Sang Pencipta dan dalam cahaya Sabda-Nya”(LE 25)

*****
Centesimus Annus (Ulang tahun ke seratus)

“....Sumber pertama segala sesuatu yang baik ialah karya Allah sendiri yang menciptakan bumi dan manusia, serta mengurniakan bumi kepada manusia, supaya manusia dengan jerih-payahnya menguasainya dan menikmati buah-hasilnya (bdk. Kej 1:28-29). Allah menganugerahkan bumi kepada seluruh umat manusia, supaya bumi menjadi sumber kehidupan bagi semua anggotanya, tanpa mengecualikan atau mengutamakan siapapun juga. Itulah yang menjadi dasar mengapa harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang. Sebab berkat kesuburannya dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia,; bumi merupakan kurnia Allah yang pertama untuk menjadi sumber kehidupan baginya. Tetapi bumi tidak menghasilkan buah-buahnya tanpa tanggapan manusia yang khusus terhadap anugerah Allah, atau : tanpa kerja. Melalui kerja manusia dengan menggunakan akal-budi dan kebebasannya menguasai bumi, dan menjadikannya kediaman yang layak bagi dirinya. Begitulah manusia menjadikan miliknya sebagian bumi yang diperolehnya denganbekerja. Itulah asal-mula milik perorangan. Sudah jelaslah ia terikat kewajiban untuk tidak menghalang-halangi sesamanya mendapat bagiannya dari kurnia Allah. Bahkan ia harus bekerja sama dengan mereka untuk bersama-sama menguasai seluruh bumi.....”    (CA 31).
b. Pendalaman/Diskusi
§  Setelah menyimak  beberapa dokumen Ajaran Sosial Gereja di atas, sekarang cobalah berdiskusi  dengan teman-temanmu dalam kelompok untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini.
1)    Apa arti dan makna dari kerja
2)    Apa tujuan manusia bekerja?
3)    Apa hubungan kerja dengan doa?
4)    Apa hubungan kerja dengan istiahat?

1.                                                                                                                                                                  ARTI KERJA
Kerja merupakan kegiatan manusia yang dimaksudkan bagi kemajuan manusia, jasmani maupun rohani. Ada 2 hal yang perlu diingat berkaitan dengan kerja:
(1)   Kerja memerlukan pemikiran secara sadar yang diarahkan pada tujuan tertentu, dan oleh karenanya martabat luhur manusia semakin nyata. Manusia tidak boleh dipaksa untuk melakukan kerja tertentu, karena bertentangan dengan hak asasi manusia.
(2)   Setiap pekerjaan yang halal sama mulianya, meskipun dilihat dari segi tujuan dan hasil bisa berbeda. Namun, nilai insaninya serta martabatnya tidak berubah karenanya.

2.     MAKNA KERJA
Ada berbagai makna kerja, a.l.:
(1)   Makna Ekonomis:
Kerja dipandang sebagai pengerahan tenaga untuk menghasilkan sesuatu yang diperlukan atau diinginkan oleh seseorang atau masyarakat. Maka kerja dapat dibedakan: pekerjaan produktif, distributif, & jasa. Dalam konteks ini kerja ialah usaha memenuhi dan menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan hidup primer.

(2)   Makna Sosiologis:
Kerja, selain sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sekaligus juga mengarahkan kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat. Selain itu, melalui kerja manusia dimungkinkan untuk membangun relasi dengan sesamanya.

(3)   Makna Antropologis:
Kerja memungkinkan manusia untuk membina dan membentuk diri pribadinya. Dengan kerja, manusia menjadi lebih manusia dan lebih bisa menjadi teman bagi sesamanya dengan menggunakan akal budi, kehendak, tenaga, daya kreatif, serta rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan umum.

3.     TUJUAN KERJA
Tujuan kerja manusia juga dapat dirumuskan berbeda-beda, a.l.:
(1)   Mencari Nafkah
Bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, memperoleh kedudukan dan kejayaan ekonomi. Nilai kerja yang hendak dicapai bersifat jasmani.
(2)   Memajukan Teknik & Kebudayaan
Bekerja untuk memajukan salah satu cabang teknologi atau kebudayaan, dari yang paling sederhana sampai ke yang paling canggih. Nilai kerja yang hendak dicapai bersifat rohani.

(3)   Menyempurnakan diri sendiri
Bekerja untuk menyempurnakan dirinya sendiri. Ia menemukan harga dirinya. Dkl. Untuk mengembangkan kepribadiannya. Nilai kerja yang hendak dicapai untuk memanusiakan dirinya, atau meningkatkan kualitas hidupnya.

(4)   Memuliakan Tuhan
Bekerja dihayati sebagai partisipasi nyata manusia dalam karya penciptaan Allah. Karya penciptaan Allah masih harus dilanjutkan oleh manusia, karena Allah menjadikan manusia sebagai partner kerjanya untuk menyempurnakan penciptaan.

Dalam hal ini hendaknya kita menjadi kritis terhadap etos kerja masyarakat. Perlu kiranya memperhatikan beberapa hal berikut ini:
(1)   Dengan tujuan apa Anda kerja?
(2)   Kalau sudah memperoleh uang, untuk apa uang itu?
(3)   Apakah kebutuhan hidup Anda ada batasnya? Mengapa?
(4)   Apa yang akan Anda lakukan, jika hasil kerja keras Anda masih belum juga dapat menutupi kebutuhan hidup?
(5)   Sampai kapan Anda mampu bekerja keras?
(6)   Apa yang Anda pikirkan, jika sudah tidak mampu bekerja keras lagi?

Ada 2 pola pikir dalam memandang makna Belajar & Kerja
Pola pikir pada umumnya:
Ø Sekolah untuk mempersiapkan diri memasuki dunia kerja
Ø Bekerja, untuk memperoleh dan mengumpulkan uang
Pola pikir baru:
Ø Sekolah, untuk menemukan cara belajarnya sendiri, sehingga dengan senang hati mau belajar, bahkan akan menjadi pembelajar seumur hidup (long life education).
Ø Bekerja, untuk belajar, sehingga terus menerus mampu meningkatkan taraf hidupnya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Apa itu BELAJAR?
Ø Belajar merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara mental atau fisik yang diikuti dengan kesempatan untuk merefleksikan hal-hal yang harus dilakukan, sehingga dapat mencapai tujuan dengan memanfaatkan sebagai pengetahuan/pengalaman yang sudah dimiliki.
Ø Belajar: merupakan suatu PROSES UNTUK MENEMUKAN SESUATU dari pada suatu PROSES UNTUK MENGUMPULKAN SESUATU.

4.     HUBUNGAN ANTARA KERJA & DOA
Doa & Kerja mempunyai hubungan yang sinergi:
(1)   Doa dapat menjadi daya dorong bagi kita untuk bekerja lebih tekun, lebih tabah, dan tawakal.
(2)   Doa dapat memurnikan pola pikir (etos), motivasi, dan orientasi kerja.
(3)   Doa seringkali merupakan saat-saat refleksi diri dan kerja yang sangat efektif.
(4)   Doa dapat menjadikan kerja manusia mempunyai aspek religius & adikodrati.

Sesungguhnya orang yang paling bahagia adalah orang yang menikmati pekerjaannya dengan segenap jiwa-raganya, dan dari situ ia dapat memberi kepuasan dan kebahagiaan bagi sesamanya.
Bekerja adalah suatu kodrat manusia yang tidak dapat ditolak atau dihindari. Kerja bukan sekedar kewajiban, tetapi juga hak bagi setiap manusia. Tentu saja manusia ingin memiliki pekerjaan yang “mulia” dan sesuai dengan bakat serta talenta yang ada padanya.
Kerja & belajar merupakan 2 hal yang tak dapat dipisahkan. Belajar yang paling efektif adalah dilakukan sambil melakukan tindakan (=bekerja) atau learning by doing. Melalui kerja kita akan banyak menjalani proses belajar. Belajar menekuni apa yang ia kerjakan, agar semakin kompeten/ahli. Oleh karena kita tidak mungkin hanya menekuni bidang tertentu saja, kita pun belajar hal lain. Dengan demikian, tak dapat ditolak lagi bahwa kita harus mempelajari bidang apa saja yang dapat dipelajari, entah suka atau tidak suka, selagi masih ada kesempatan untuk belajar. Belajar dalam pendidikan formal, non-formal, maupun non formal, sesungguhnya baru merupakan permulaan atau titik tolak belajar kita. Belajar yang sesungguhnya adalah sewaktu kita telah menyelesaikan pendidikan dan memasuki dunia kerja. Dari pekerjaan itu kita akan banyak belajar tentang banyak hal. Dan dengan belajar hidup manusia akan menjadi semakin bermutu dan berarti. Atau manusia menemukan dirinya sebagai “gambar dan rupa Allah”.

















Tidak ada komentar:

MATERI PELAJARAN AGAMA KATOLIK KELAS XII: BAB V PERAN SERTA UMAT KATOLIK DALAM MEMBANGUN BANGSA INDONESIA

BAB V PERAN SERTA UMAT KATOLIK DALAM  MEMBANGUN BANGSA INDONESIA                A.    Situasi Negeri kita saat ini 1.       ...